Latarbelakang
Kemajuan Islam pada masa kejayaannya ditandai oleh, antara lain,
pesatnya perkembangan pemikiran Islam, yang meliputi bidang-bidang : Teologi,
Filsafat, dan Sufisme. Pemikiran
para tokoh pemikir yang muncul ketika itu berhasil mewarnai corak keberagamaan
umat Islam pada masanya, bahkan pengaruhnya tetap terasa sampai abad modern.[1] Salah
satu tokoh berpengaruh dalam pemikiran adalah al-Ghazali (1085-1111 M), dia merupakan
salah seorang pemikir yang muncul pada masa pasca puncak kemajuan Islam. Ia
dapat dikategorikan pemikir yang menguasahi tiga bidang pemikiran yaitu
teologi, filsafat dan sufisme. selain itu, masih banyak tokoh-tokoh penting
dalam sejarah pemikiran keislaman dalam bidang kalam seperti Washil ibn Atha
tokoh pendiri mu’tazilah, Abu Hasan al-Asy’ari pendiri golongan ahlus sunnah
wal jamaah (Sunni) atau Asy’ariyah dan lain sebagainya.
Munculnya beragam aliran Teologi dalam Islam merupakan hasil dari
persinggungan atau gesekan antara pemikir muslim masa awal Islam, dimana sejak
masa Rasulullah SAW sudah ada bibit-bibit perdebatan seputar ketuhanan.
Meskipun perdebatan itu tidak sampai menimbulkan kekacauan dalam diri umat
Islam. Baru setelah terjadi peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman, umat Islam
mulai merasakan pergolakan politik hingga akhirnya meluas hingga ke persoalan
takdir dan perbuatan manusia apakah manusia itu dipaksa atau bebas perbuat.
Persoalan teologi Islam ini patut kita ketahui apa sebenarnya
faktor yang melatarbelakangi munculnya berbagai faham teologi tersebut.
Kemudian persoalan-persoalan apa saja yang diperdebatkan dalam masalah teologi
Islam itu. selain itu juga golongan apa saja yang turut terlibat dalam
persoalan teologi tersebut hingga masalahnya semakin rumit dan kompleks.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Teologi
Secara bahasa, teologi terdiri theos yang artinya “tuhan”, dan
logos, yang artinya “ilmu” (science, study, atau discourse). Jadi ilmu tentang
ketuhanan, yaitu yang membicarakan dzat Tuhan dari segala seginya dan
hubungannya dengan alam.[2]
Definisi diatas menunjukkan bahwa arti teologi cukup luas, sehingga perlu ada
batasan yang jelas. Karena itu untuk pembatasan lapangan dan penetapan arti kata
“teologi” biasanya dibubuhi dengan kualifikasi tertentu seperti teologi Yahudi,
teologi Kristen, teologi Katolik, teologi Lutheran, teologi Islam, bahkan
dengan kualifikasi lebih terbatas lagi, teologi Apologetik (mempertahankan
agama), teologi Sistematik, teologi Sejarah, dan sebagainya.[3]
Secara istilah, pengertian secara umum ialah: “the science which
treats of the fact and phenomena of religion, and the relations between god and
man”, atau ilmu yang membicarakan kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama
dan membicarakan hubungan tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan
maupun pemikiran murni, atau dengan jalan wahyu.[4] Kalau
kita meninjau ilmu kalam sendiri, maka kita dapati lapangannya sama dengan
lapangan-lapangan teologi yang disebutkan tadi, yaitu sekitar tuhan, ada-nya,
ke-esaanya, sifat-sifat-nya dari segala segi dan hubungan tuhan dengan manusia
dan alam, berupa keadilan dan kebijaksanaan, pengutusan rasul-rasul sebagai
penghubung antara tuhan dan manusia dan soal-soal yang bertalian dengan
kehidupan di sana. Sudah barang tentu ilmu yang membicarakan lapangan-lapangan
tersebut bisa dinamakan “teologi”, hanya karena pembicaraan tersebut didasarkan
atas prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran agama Islam, maka dinamakan teologi Islam”.[5]
Dalam kajian teologi Islam tentu yang dimaksud adalah ilmu kalam atau
juga disebut ilmu tauhid. Sahilun menjelaskan
definisi ilmu Kalam mengutip pendapat Muhammad Abduh sebagai
berikut[6]:
a.
Menurut
Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905) Ilmu Tauhid juga disebut ilmu kalam,
memberikan ta’rif sebagai berikut:
التوحيد
علم يبحث فيه عن وجود الله و ما يجب ان يثبت له من صفات, و ما يجوز أن يوصف به و
ما يجب أن ينفى عنه, و عن الرسل لإثبات رسالتهم و ما يجب أن يكونوا عليه, و ما
يجوز أن ينسب إليهم و ما يمتنع أن يلحق بهم.
“ Tauhid ialah ilmu yang membahas tentang wujud Allah
tentang sifat-sifat yang wajib tetap bagi-nya, sifat-sifat yang jaiz disifatkan
kepada-nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali yang wajib ditiadakan
(mustahil) daripada-nya. Juga membahas tentang rasul-rasul allah untuk
menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib pada dirinya, hal-hal yang jaiz
dihubungkan (dinisbatkan) pada diri mereka dan hal-hal yang terlarang
(mustahil) menghubungkannya kepada diri mereka”.
b. Ibnu Khaldun menjelaskan[7]:
“Ia adalah ilmu
yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan akidah keimanan dan
menolak pembaharu yang menyimpang dalam dogma yang dianut kaum muslimin pertama
dan ortodoksi muslim, ahlus-sunnah.
Secara umum dapat dipahami bahwa ilmu kalam mengkaji seputar
kepercayaan iman yang didukung dengan dalil-dalil yang kuat guna membantah
mereka yang menyimpang dari prinsip-prnsip tauhid yaitu meng-Esakan Allah.
B.
Pembahasan Ilmu Kalam Menurut Mutakalimin
Para mutakallimin mempunyai ciri khusus dalam membahas ilmu kalam,
yang berbeda dengan ulama-ulama yang lain. Ahmad
amin (dalam Sahilun: 2012) menjelaskan:
“Bahwa sesungguhnya mutakallimin mempunyai sistem tersendiri di dalam
membahas, menetapkan dan berdalil, berbeda dengan sistem al-Quran
dan al-Hadis serta fatwa-fatwa sahabat. Dari
segi lain, berbeda dengan sistem filsafat dalam membahas, menetapkan dan
berdalil. Sistem mereka berbeda dengan sistem orang-orang sebelumnya dan
sesudahnya. Untuk itu akan kami jelaskan secara ringkas. Adapun perbedaan
mereka dengan sistem al-Quran ialah karena al-Quran itu mendasarkan seruannya, berpegang
pada fitrah manusia. Hampir setiap manusia, dengan fitrahnya mengakui adanya Tuhan,
Tuhan yang menciptakan dan mengatur alam. Hampir setiap manusia dengan
fitrahnya sepakat terhadap hal tersebut, sekalipun berbeda menamakan Tuhan itu dan menyebutkan
sifat-sifat nya. Yang demikian itu baik bagi bangsa yang masih bersahaja (primitif)
sampai kepada yang telah maju kebudayaannya”.
Allah Swt berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],”[8].
(AR-Rum: 30)
Dalam menunjukkan dalil, al-Quran selalu menggugah fitrah manusia
atau seluruhnya memperhatikan struktur alam dengan segala keindahannya, dimana
alam ini merupakan dalil tentang wujud Allah swt. Firman Allah:
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu
perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali
tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu
menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, Tiadalah
mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah
dan Amat lemah (pulalah) yang disembah.”
(al-haj: 73)
Meskipun mutakallimin menggunakan akal untuk mencari Tuhan, tetapi
mereka tidak puas, karena ada hal-hal yang di luar jangkauan kekuasaan akal,
yaitu masalah dogma-dogma itu tidak dihukumi oleh akal. Kalau dogma itu sudah
dihukumi oleh akal, maka rahasia dogma itu menjadi tidak rahasia lagi. Dogma
itu akan menjadi lumpuh, karena bertentangan dengan akal, sebab akal manusia
akan mencari Tuhan dengan jalan memperhatikan alam semesta.[9]
Dalam al-Quran ada ayat-ayat mutasyabihat[10],
yaitu ayat-ayat yang arti lahirnya Tuhan itu
seperti makhluk-nya (subhanahu wa ta’ala). seperti ayat-ayat yang menerangkan
tentang determinisme (ijbary) dan indeterminisme (ikhtiary),
tentang wajah Allah Swt, cahayaNYA, tangan-NYA, Dia
berada di langit dan sebagainya. Ayat-ayat
tersebut telah menjadi bahan perdebatan di kalangan mutakalimin (Teolog Islam)
baik yang pro dan kontra. Diantara
ayat-ayat mutasyabihat ialah:
@è%
`©9
!$uZu;ÅÁã
wÎ)
$tB
|=tF2
ª!$#
$uZs9
uqèd
$uZ9s9öqtB
4
n?tãur
«!$#
È@2uqtGuù=sù
cqãZÏB÷sßJø9$#
ÇÎÊÈ
Katakanlah:
“Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah
untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman
harus bertawakal." (QS: At-Taubat: 51)
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷yt ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ÌøBr& «!$# 3
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3
!#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4
$tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
“Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767][11].
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan[768][12]
yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan
terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak
ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS: Ar-Ra’d: 11)
4s+ö7tur çmô_ur y7În/u rè È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu
yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS: Ar-Rahman: 27).
ßt......” «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷r& .....
“
ÇÊÉÈ
“................tangan Allah di
atas tangan mereka[1397]...........(QS: Fath:10)
* ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 ÇÌÎÈ.............
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada)
langit dan bumi........” (QS: An-Nur:35)
ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ
Dalam merespon ayat-ayat mutasyabihat diatas, ternyata
muncul beragam pandangan yang berbeda-beda. Masing-masing berpegang teguh
dengan alasannya yang dianggap benar. Beberapa pandangan tersebut antara lain yaitu[14]: Pertama, Golongan
Salaf, mempercayai sepenuhnya kepada nash-nash mutasyabihat, tetapi mereka
menyerahkan maksud yang sebenarnya kepada Allah Swt. Mereka tidak mengadakan
ta’wil mengenai ayat dalam surat Al Fath ayat 10: Yang
artinya: “Tangan Allah itu diatas tangan-tangan mereka”(al-Fath:10). Mereka
percaya pada يَدُ اللهِ
(tangan Allah SWT), tetapi keadaannya berbeda dengan tangan manusia. Maksud
yang sebenarnya mereka serahkan sepenuhnya kepada Allah Swt.
Kedua,
Mu’attilah; berpendapat bahwa kalimat-kalimat yang mengandung sifat-sifat Allah
Swt, yang tampaknya serupa dengan sifat-sifat makhluknya yang terdapat pada
nash-nash mutasyabihat, harus dinafikan (ditiadakan) dari Allah Swt bersifat
semacam itu. Agar dengan
demikian orang dapat dengan sungguh-sungguh mentaqdiskan atau menyucikan Allah
Swt dari serupa dengan makhluknya. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah (1263-1328)
menerangkan: “Mereka (golongan mu’attilah) menafikan sifat-sifat Allah Swt. Mereka
beranggapan bahwa Allah tidak mendengar, tidak berfirman, tidak melihat. Karena
yang demikian itu tidak bisa terjadi, melainkan dengan anggota badan. Atas
anggapan ini, mereka menafikan madlulnya nash-nash mutasyabihat dan
menghapuskan makna-makna dari segala segi”. Golongan Mu’attilah ini timbul pada
akhir pemerintahan Bani Umayah, dipimpin oleh Jaham bin Sofwan at-Turmudzi. Dia
mati dibunuh pada 128 H. Paham-pahamnya bercampur dengan paham-paham Ja’ad bin
Dirham yang juga mati terbubuh pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
Ketiga, Golongan
Mujasssimah atau Musyabbihah. Golongan ini dipimpin Dawud al-Jawariby atau
Hisyam bin Hakam ar-Rafidli. Mereka berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan
hadis Nabi SAW mengenai nash-nash mutasyabihat harus diartikan lahirnya (letterlijk)
saja. Jadi Allah swt itu benar-benar mempunyai sifat-sifat seperti sifat-sifat
makhluknya. Selanjutnya Ibnu Taimiyah menerangkan: “Golongan Mujassimah adalah
golongan yang menentang golongan mu’attilah. Mereka menetapkan adanya
sifat-sifat Allah. Hanya saja mereka menjadikan (menganggap) bahwa sifat-sifat Allah
itu seperti sifat-sifat makhluknya. Maka
mereka berkata: Allah itu mempunyai tangan seperti tanganku ini dan pendengaran
seperti pendengaranku. Maha Suci Allah
Swt., Maha Tinggi Allah Swt dan Maha Besar dari hal-hal yang mereka katakan”.
Swt., Maha Tinggi Allah Swt dan Maha Besar dari hal-hal yang mereka katakan”.
Keempat, Golongan Khalaf, mempercayai bahwa nash-nash
mutasyabihat itu menerangkan tentang sifat-sifat Allah Swt, yang tampaknya
menyerupai dengan makhluknya adalah kalimat-kalimat majaz. Oleh karena itu,
harus dita’wilkan sesuai dengan sifat keagungan dan kesempurnaannya, seperti:
يد الله diartikan kekuasaan Alah swt وجه الله
diartikan Dzat Allah swt, من في السماء diartikan Dzat yang menguasahi langit.
Jika
kita melihat pandangan masing-masing golongan, maka disana terlihat bahwa kaum salaf tidak
memberikan uraian dan bahasan seputar nash-nash mutasyabihat diatas. Mereka
cenderung menjauhi untuk membahas persoalan yang memang dirasa sulit dan sangat
rawan terhadap perdebatan. Mereka mempunyai alasan mengapa tidak ingin membahas
nash-nash tersebut. Sebab-sebab golongan
salaf tidak mengadakan ta’wil itu ialah:[15] a) Pembahasan nash-nash
mutasyabihat itu tidak memberi manfaat bagi orang awam. b) Segala yang berhubungan
dengan dzat dan sifat Allah Swt adalah di luar akal yang tidak mungkin manusia
dapat mencapai-nya kecuali dengan cara mengqiyaskan Allah swt pada sesuatu dan ini
adalah kesalahan yang besar.
C.
Faktor-Faktor
Munculnya Ilmu Kalam
Kita
tidak akan memahami ilmu kalam secara utuh kalau tidak mempelajari
faktor-faktor yang mendorong kemunculannya. Sebab ilmu kalam sebagai ilmu yang
berdiri sendiri, belum dikenal pada masa Nabi SAW sendiri maupun pada masa sahabat.
Adapun faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor dari dalam
(internal), dan faktor dari luar (eksternal).
1.
Faktor
Intern
Sahilun
mengutip pendapat Ahmad Amin menyatakan tentang faktor intern munculnya ilmu
kalam yaitu sebagai berikut[16]:
a.
“Sesungguhnya al-Qur’an
itu sendiri di samping seruan dakwahnya kepada tauhid dan mempercayai kenabian,
dan hal-hal yang berhubungan dengannya, juga menyinggung golongan-golongan dan
agama-agama penting yang terbesar pada masa Nabi Muhammad Saw, lalu al-Qur’an menolaknya dan membatalkan
pendapat-pendapatnya. Diriwayatkan, suatu kaum yang mengingkari
kepercayaan-kepercayaan agama, ketuhanan, kenabian, dan mereka itu berkata:
“tidaklah ada yang membinasakan kami, melainkan masa”. Dan al-Qur’an menolaknya dengan berbagai
dalil dan menyinggung kemusyrikan yang bermacam-macam itu”.
b.
Ada orang-orang
yang menuhankan Nabi Isa As. Hal ini ditolak berdasarkan ayat:
øÎ)ur tA$s% ª!$# Ó|¤Ïè»t tûøó$# zNtótB |MRr&uä |Mù=è% Ĩ$¨Z=Ï9 ÎTräϪB$# uÍhGé&ur Èû÷üyg»s9Î) `ÏB Èbrß «!$# (
tA$s% y7oY»ysö6ß $tB ãbqä3t þÍ< ÷br& tAqè%r& $tB }§øs9 Í< @d,ysÎ/ 4
bÎ) àMZä. ¼çmçFù=è% ôs)sù ¼çmtGôJÎ=tæ 4
ãNn=÷ès? $tB Îû ÓŤøÿtR Iwur ÞOn=ôãr& $tB Îû y7Å¡øÿtR 4
y7¨RÎ) |MRr& ãN»¯=tã É>qãäóø9$# ÇÊÊÏÈ
“ Dan (ingatlah) ketika Allah
berfirman: "Hai Isa putera Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia:
"Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?". Isa
menjawab: "Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang
bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan Maka tentulah Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada
diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang
ghaib-ghaib".
c.
Disatu pihak ada
ayat-ayat yang menunjukkan adanya paksaan (ijbar, predestinasi) dalam pemberian
tugas di luar kemampuan manusia. Dalam firman Allah Swt:
¨bÎ) úïÏ%©!$# (#rãxÿx. íä!#uqy óOÎgøn=tæ öNßgs?öxRr&uä ÷Pr& öNs9 öNèdöÉZè? w tbqãZÏB÷sã ÇÏÈ
“Sesungguhnya orang-orang kafir,
sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan,
mereka tidak juga akan beriman.”
d.
Disatu pihak juga
ada ayat-ayat yang menerangkan bahwa manusia bisa melakukan ikhtiar dan
bertanggung jawab terhadap perbuatannya (indeterministis). Firman Allah swt:
$tBur yìuZtB }¨$¨Z9$# br& (#þqãZÏB÷sã øÎ) æLèeuä!%y` #yßgø9$# HwÎ) br& (#þqä9$s% y]yèt/r& ª!$# #Z|³o0 Zwqߧ ÇÒÍ
“Dan tidak ada sesuatu yang
menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali
Perkataan mereka: "Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul?"
e.
Adanya masalah
politik seputar khilafah. Semenjak wafatnya Rasulullah SAW, umat Islam Muhajirin dan Anshar berselisih pendapat seputar
siapa pengganti khalifah setelah wafatnya Rasulullah SAW. Secara umum sistem kepemimpinan
adalah masalah politik belaka. Agama tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil
bentuk khilafah dengan cara tertentu. Tetapi agama hanya memberikan ketentuan
supaya memperhatikan kepentingan umum. Namun pada faktanya, pada saat itu
terjadi perselisihan yang cukup kuat antara kaum muhajirin dan anshar mengenai
siapa pemimpin yang pantas mengganti Rasulullah SAW. Setelah itu, disusul
dengan persitiwa terbunuhnya Utsman RA. Yang belum jelas siapa pembunuhnya
hingga saat ini, sejak itulah kaum muslimin terpecah belah menjadi beberapa
golongan, yang masing-masing merasa pihak yang benar dan hanya calon dari
padanyalah yang berhak menduduki kursi khalifah.
Persitiwa
terbunuhnya Utsman, menjadi titik tolak yang jelas dari permulaan
berlarut-larutnya perselisihan bahkan peperangan diantara kaum muslimin
sendiri. Sebab sejak saat itu timbullah orang yang menilai tentang perisitwa
pembunuhan itu, disamping menilai amal perbuatan Utsman sendiri sewaktu hidupnya.
Segolongan kecil mengatakan bahwa utsman dianggapnya salah kebijaksanaannya
pada akhir masa jabatannya. Pihak lain mengatakan bahwa pembunuhan terhadap
utsman itu adalah kejahatan besar dan pembunuhannya adalah kafir.
Kalau
manusia itu sendiri sebagai sumber perbuatan, maka persoalannya sudah jelas.
Akan tetapi kalau sumber perbuatan itu adalah Tuhan, manusia itu hanya sebagai
pelaku semata-mata, maka keputusan manusia itu dosa atau kafir, hal itu masih
belum jelas. Inilah yang menyebabkan timbulnya golongan Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah,
dan Asy’ariyah yang membicarakan masalah Af’alul-‘Ibad atau perbuatan hamba,
apakah manusia itu mempunyai kebebasan dalam berbuat atau dalam keadaan
terpaksa dalam perbuatannya atau bagaimana.
2.
Faktor
Eksternal
Adapun faktor-faktor dari luar, Sahilun mengutip pernyataan Ahmad Amin
sebagai berikut:[17]
Pertama, “sesungguhnya, kebanyakan orang-orang yang memeluk Islam
sesudah kemenangannya, semula mereka itu telah memeluk berbagai agama, yaitu
Yahudi, Kristen, Manu, Zoroaster, Brahmana, Sabiah, Atheisme, dan lain lain.
mereka dilahirkan dan disebarkan dalam ajaran-ajaran agama ini. Bahkan
diantara mereka ada yang benar-benar
memahami agama aslinya. Setelah pikiran
mereka tenang dan tentram, dan sesudah memegang teguh agamanya yang baru, yaitu
agama Islam, mulailah mereka memikirkan ajaran-ajaran yang terdahulu dan
membangkitkan persoalan-persoalan dari persoalan agamanya serta diberinya
dengan corak baju ke-Islaman.
Kedua, “sesungguhnya golongan Islam yang dahulu, terutama golongan
mu’tazilah memusatkan perhatiannya yang terpenting adalah untuk dakwah Islam
dan bantahan alasan orang-orang yang memusuhi Islam. Mereka tidak akan bisa
menolak lawan-lawannya kecuali sesudah mereka mempelajari pendapat-pendapatnya
serta alasan-alasannya. Maka akhirnya negeri Islam itu menjadi medan perdebatan
bermacam-macam pendapat dan agama. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa perdebatan
bisa membawa (menyebabkan) berpikir dan membangkitkan persoalan yang bisa
mengajak memperhatikan persoalan tersebut. Dan
masing-masing golongan terbawa untuk mengambil pendapat yang dianggapnya benar
dari pendapat orang yang berbeda dengannya. Sebagian
agama, terutama agama-agama Yahudi dan Kristen telah menggunakan senjata
filsafat Yunani. Philon ( 25 SM- 50 M) seorang Yahudi pertama
yang menfilsafatkan ajaran-ajaran Yahudi dan mempertemukannya dengan filsafat Yunani.
Clemeus Von Alexandrian (lahir kira-kira tahun 150 M) dan Origen (185-254)
adalah diantara orang yang pertama-tama mempertemukan agama Kristen dengan
filsafat Neo Platonisme. Hal ini sudah barang tentu (mendorong) golongan
mu’tazilah mempergunakan senjata yang dipakai lawannya (yaitu filsafat, pen)
dengan masuknya filsafat Yunani ke dalam golongan mu’tazilah dan aliran-aliran
golongan lainnya, semakin banyak perbedaan pendapat di kalangan umat Islam
sebagaimana telah kami contohkan sebelumnya. Hal
itulah yang merupakan salah satu faktor penting timbulnya ilmu Kalam.
Ketiga, Ahmad Amin menerangkan: “Faktor ketiga ini merupakan
kelanjutan faktor kedua, yaitu sesungguhnya kebutuhan para mutakalllimin
terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan (mengimbangi, pen)
musuh-musuhnya, mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama,
maka mereka terpaksa mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil mafaat ilmu
logika, terutama dari segi ketuhanan. Kita mengetahui An-Nazham
(tokoh mu’tazilah, pen) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak beberapa
pendapatnya. Demikian juga Abul Hudzail al ‘Allaf.”
D.
Golongan
Mu’tazilah
Golongan
mu’tazilah disebut kelompok Ahl al-Adl wa at-Tauhid, dan juga disebut Qadariyah
atau ‘Adliyyah.[18] Perkataan
mu’tazilah berasal dari kata i’tazala, artinya menyisihkan diri. Pendapat
orang berbeda-beda tentang sebab-musabab timbulnya firqoh mu’tazilah itu. Dalam
sejarah tercatat cikal bakal munculnya golongan mu’tazilah ini yaitu tentang
halaqoh seorang tabi’in terkenal yang bernama Hasan al-Basri (w. 110H). Peristiwa
memisahkan diri yang dilakukan Washil ibn Atha (w. 130 H) dari gurunya al-Hasan
al-Bashri (w. 110 H) di masjid kota Basrah dianggap sebagai awal lahirnya aliran
mu’tazilah.
Washil
seorang yang berotak cerdas telah berlaku lancang didepan gurunya, dengan
memberi jawaban terhadap suatu pertanyaan yang diajukan orang kepada sang guru,
sebelum gurunya menjawab tentang status seseorang mukmin yang memperbuat dosa
besar itu, dijawab oleh washil bahwa dia tidak mukin tidak kafir, tetapi
statusnya diantara kedua posisi tersebut atau “al-manzilat bayna
al-manzilatayn”. Sang guru menjawab orang itu tergolongan munafiq, karena merasa
pendapatnya benar dalam perbedaan pendapat ini. Maka washil pun memisahkan diri
dari kelompok pengajian al-Hasan, gurunya,
ke salah satu ruangan dalam masjid yang sama, dan diikuti oleh sejumlah
teman-temannya yang sepaham. Menanggapi
peristiwa yang terjadi, sang guru pun berucap: “i’tazala anna washil” (washil
telah memisahkan diri dari kita). Sejak saat itu, Washil ibn Atha dianggap sebagai pemuka golongan
mu’tazilah.[19]
Ajaran-ajaran
mu’tazilah mendapat dukungan dan penganut dari penguasa dari Bani Umayah, seperti khalifah Jazid bin Walid
(125-126 H). sedangkan dari Bani Abbasiyah khalifah-khalifah yang mendukungnya
yaitu: a) Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (198-218 H), b) khalifah
al-Mu’tasim bin Harun al-Rasyid (218-227 H), c) al-Watsiq bin al-Mu’tashim
(227-232 H). Dari dukungan dan
simpati keempat khalifah tersebut, maka paham-paham mu’tazilah menjadi tersebar
luas. Ulama-ulamanya yang terkenal yaitu[20]:
a. Utsman al-Jahiz (w. 255 h), mengarang kitab al-Hiwan.
b. Syarif radhi (w.
406 h), mengarang kitab majaz al-Qur’an.
c. Abdul Jabbar bin Ahmad, lebih dikenal dengan Qadhil Qudhot, mengarang kitab Syarah Ushul al-Khamsah.
d. Zamakhsyari (w.
528 h), mengarang kitab tafsir al-Kasysyaf.
e. Ibnu Abil Haddad (w. 655 h), mengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah.
Orang-orang
mu’tazilah giat mempelajari filsafat Yunani untuk mempertahankan
pendapat-pendapatnya, terutama filsafat Plato dan Aristoteles. ilmu logika sangat
menarik perhatiannya, karena menjunjung tinggi berpikir logis. Memang mu’tazilah lebih mengutamakan
akal pikiran, dan sesudah itu baru al-Qur’an
dan Hadis
atau mendahulukan akal atas nas.
Hal
ini berbeda dengan golongan ahlus sunnah yang mendahulukan al-Qur’an dan Hadis, kemudian baru akal pikiran atau
mendahulukan nas atas akal.[21]
Ajaran-ajaran yang tampak bertentangan dengan akal pikiran, mu’tazilah,
membuangnya jauh-jauh, sekalipun ada petunjuk dari nash. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi dengan
roh dan jasad, kebangkitan manusia dari kubur (hasyrul ajsad) dianggapnya
bertentangan dengan akal pikiran.
Mu’tazilah memiliki lima prinsip yang menjadi pedoman
mereka. sebagaimana yang diterangkan oleh al-Khayyath, tokoh mu’tazilah pada
abad III, dikutip oleh Sahilun:
“seseorang tidak berhak dinamakan Mu’tazilah, sehingga
bersatu padanya lima pokok ajaran, yaitu Tauhid, Keadilan, janji dan ancaman,
tempat diantara dua tempat (al-manzilah baina al-manzilatain), dan amar ma’ruf
nahi mungkar. Apabila padanya telah sempurna kelima ajaran ini, dinamakan
Mu’tazilah”.[22]
Pemikiran-pemikiran mu’tazilah cukup menggelitik para
ulama pada waktu itu sebab terlalu menyandarkan diri pada akal rasional semata
dan mengesampingkan nash-nash yang bertentangan dengan akal menurut mereka. Diantara
pemikiran mereka yang cukup memberi pengaruh besar dalam sejarah pemikiran
ketuhanan adalah, seperti apa yang diungkapkan oleh al-Syahrastani:[23]
“Kaum mu’tazilah mengatakan bahwa Allah itu Qadim, Qidam
adalah sifat khusus bagi dzatNYA. Mereka mengatakan Allah Maha Mengetahui
dengan dzatNYA, Allah Maha Hidup dengan zatNYA. Allah Maha Kuasa dengan zatNYA,
bukan dengan pengetahuan, kekuasaan, dan kehidupan, karena semua ini adalah
sifat sedangkan sifat adalah sesuatu diluar zat. Karena kalau sifat berada pada
zat yang qadim, sedang sifat qadim adalah sifat yang lebih khusus niscaya akan
terjadi dualisme yakni zat dan sifat.”
Pendapat mereka cukup rasional, hal ini telihat dari
analisis mereka dengan tetap berpegang teguh atas apa yang mereka yakini bahwa
tidak ada dua zat yang sama sama Qadim sehingga keesaan Tuhan tetap terjaga
menurut mereka.
Pemikiran lain yaitu mereka berbeda pendapat tentang
status al-Qur’an, apakah al Quran itu qadim atau hadis. mereka berpandangan
berbeda dengan sunni, dengan mengatakan bahwa al-Qur’an itu qadim atau makhluk,
sebab sesuatu yang diciptakan. Al-Syahrastani
menjelaskan:[24]
“Kaum mu’tazilah berpendapat bahwa kalam Allah itu
baharu yang ada pada zatnya karena kalam itu sendiri terdiri dari huruf, suara,
dan tulisan mushaf dan dapat ditiru bunyinya. Karena itu, kalau sifat kalam sedemikian
rupa maka sesuatu yang baharu yang dapat pada zat maka kalam yang seperti itu
dapat hilang”.
Kaum mu’tazilah juga berpendirian bahwa melihat zat Allah
di surga nanti adalah suatu yang mustahil, sebab tidak sesuai dengan akal
rasional. Berikut ini al-Syahrastani menegaskan:[25]
“Mereka juga menolak kemungkinan melihat zat Allah
dengan mata kepala pada hari akhirat karena menurutnya, apabila zat Allah dapat
dilihat berarti zatnya sama dengan zat yang lain padahal zat Allah tidak berada
pada arah tertentu, tidak mempunyai tempat, tidak berbentuk, tidak mempunyai
rupa, tidak terdiri dari materi, tidak menempati ruang, tidak berpindah-pindah,
tidak dapat dibilang, tidak berubah, dan tidak dipengaruhi. karena menurut
mereka ayat-ayat yang mutasyabihat itu wajib ditakwilkan, pendirian yang
seperti itu mereka namakan Tauhid.” Mereka
berdalil dengan nash al-Qur’an:
w çmà2Íôè? ã»|Áö/F{$# uqèdur à8Íôã t»|Áö/F{$# (
uqèdur ß#Ïܯ=9$# çÎ6sø:$# ÇÊÉÌÈ
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang
Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha
mengetahui.” (al-An’am
ayat 103).
Mu’tazilah berpegang teguh dengan pendirinnya bahwa
manusia itu bebas melakukan perbuatan (free will), tidak dipaksa. Sehingga
menurut mereka Allah wajib memberikan pahala atas perbuatan baiknya dan wajib
memberi siksa atas perbuatan maksiat yang diperbuat oleh manusia. Al-Syahrastani
menegaskan:[26]
“mereka juga berpendapat bahwa manusia berkuasa atas
perbuatannya sendiri, entah perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Karena itu,
manusia berhak memperoleh pahala dari apa yang diperbuatnya dan siksa di hari
akhirat. Perbuatan baik dan buruk, kafir dan maksiat bukan termasuk perbuatan
Allah, karena kalau dikatakan Allah yang menciptakan semuanya itu berarti Allah
telah berlaku dzalim lantaran menciptakan dan demikian juga keadilan. Mereka
menamai pendirian ini dengan nama adil. Mereka berpendapat bahwa Allah tidak
menciptakan terkecuali sesuatu yang baik, Allah berkewajiban memelihara
kepentingan hambanya.”. Mereka
berdalil dengan Sejumlah nash al-Qur’an:
a) Dalam surat al
Mudatsir ayat 38: yang artinya: “Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang
telah diperbuatnya”.
b) Dalam surat
al-Kahfi ayat 39: yang artinya: “Maka siapa yang menghendaki beriman
berimanlah, dan siap yang menghendaki kafir kafirlah!”.
c) Dalam surat
ad-Dahr ayat 3: “Sesungguhnya kami telah menunjukkan kepadanya jalan (yang
lurus), adakalanya dia bersyukur dan adakalanya mengingkari”.
d) Dalam surat
al-Muzammil ayat 19: “Sesungguhnya ini adalah peringatan; maka siapa yang
ingin, tentu ia mengambil jalan kepada tuhannya.”
e) Dalam surat
Fusilat 46 : “Barang siapa berbuat baik, maka itu adalah buat dirinya, dan
siapa berbuat jahat, maka itu merugikan dirinya. dan tiadalah tuhanmu aniaya
terhadap hamba-hamba-NYA.”
f) Dalam surat
an-Najmu ayat 39-41: “Dan bahwasanya tiadalah bagi manusia, kecuali apa yang
telah dikerjakannya. Dan bahwasannya usahanya itu akan diperlihatkan. Kemudian
dia akan diberi balasan yang paling sempurna”.
Demikianlah beberapa pemikiran mu’tazilah. Sebenarnya
masih banyak hal tentang pemikiran mu’tazilah yang dapat dipahami, namun
pembahasan tentang hal tersebut cukup luas dan panjang dan memerlukan kajian
khusus secara lebih mendetail, sehingga dalam makalah ini hanya dipaparkan
secara singkat saja.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan
yang mendasar yaitu:
1. Bahwa pengertian
teologi dalam Islam tidak lain adalah terkait dengan ilmu kalam yang mengandung
sejumlah pembahasan seputar ketuhanan seperti sifat-sifat, af’al, Iradah,
takdir, dll.
2. Tujuan mutakalimin
mempelajari filsafat tidak lain karena tuntutan keadaan yang mengharuskan
mereka mempelajarinya. Sebab musuh-musuh Islam menggunakan strategi filsafat
untuk melawan Islam. sehingga mutakalimin mau tidak mau juga harus menguasahi
ilmu filsafat untuk membentengi Islam dari serangan pihak
luar Islam.
3. Ayat-ayat
mutasyabihat menjadi polemik di kalangan ulama
sebab umat Islam terjebur ke dalam perbincangan seputar ayat-ayat yang memang
secara dhahir tidak mudah diterima oleh akal. Penyebabnya adalah karena selain
permasalahan di tubuh umat Islam sendiri (internal) di tandai sejak masa terbunuhnya
khalifah Utsman
hingga munculnya mu’tazilah, juga ada faktor dari luar Islam (ekternal) yang
sengaja membuat kekacauan umat Islam dengan memunculkan wacana-wacana seputar
ketuhanan yang memicu perdebatan.
4. Mu’tazilah telah
tercatat dalam sejarah pemikiran Islam, sebagai golongan Islam yang cara
berpikirnya selalu
mengedepankan akal rasional yang
berlebihan dalam menyikapi masalah-masalah ketuhanan (teologi) sehingga
persoalannya menjadi rumit
dipahami oleh kalangan awam. Namun mu’tazilah tidak sepenuhnya salah, sebab
mu’tazilah menganggap telah berusaha membentengi Islam dari serangan pemikiran
luar (bid’ah) yang berusaha mengacaukan prinsip keimanan Umat. Upaya mu’tazilah
dengan mempelajari filsafat untuk tujuan menguatkan prinsip Keimanan Islam
patut diapresiasi, meskipun telah menimbulkan dampak negatif pula dalam diri pengikut mu’tazilah, dimana
sebagian dari pengikutnya justru terjerembab dalam lingkaran filsafat yang
rumit sehingga mereka tersesat dan tidak mudah untuk kembali ke dalam ajaran
Islam yang murni.
DAFTAR PUSTAKA
Amad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan
Bintang, cet. XII, 2001.
M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Muhammad bin
Abdul Karim Al-Syahrastani, Al Milal Wa Al Nihal, Penerj. Asywadie Syukur,
Surabaya: P.T Bina Ilmu, _____
Manna’
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, cet. ke-15, penerj. Mudzakir
AS. Bogor: Pustaka litera AntarNusa, 2012.
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Penrj. Ahmadie Toha,
Cet. ke-9. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah,
Ajaran dan Perkembangannya, cet. ke-2. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2012.
[1] M. Zurkani Jahja,
Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2009), cet. II, hlm. 17.
[2]
Amad Hanafi, Teologi
Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), cet. XII hlm. V
[5] Ibid.,
[6] Sahilun A.
Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), cet. ke-2, hlm. 1-2.
[7] Ibnu
Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Penrj.Ahmadie Toha, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2011),Cet. ke-9, hlm. 589.
[8] [1168] Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan
Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak
beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu
hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
[10] Para ulama
berbeda pendapat mengenai maksud dari
mutasyabihat. Secara bahasa mutasyabih berarti tasyabuh
yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Menurut beberapa
pendapat arti mutasyabihat antara lain: a) muhkan adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya,
sedangkan mutasyabihat hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri. b) muhkam adalah ayat yang mengandung satu
wajah,sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah. c) muhkam adalah ayat yang
maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan penjelasan
keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian, ia memerlukan penjelasan
dengan merujuk kepada ayat-ayat lain. Lihat: Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Karya:
Manna’ Khalil al-Qattan.
[11] [767]
Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara
bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan
yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran
itu, disebut Malaikat Hafazhah.
[12] [768]
Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah
sebab-sebab kemunduran mereka.
[13] [913] Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah
yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.
[18] Muhammad bin
Abdul Karim Al-Syahrastani, Al Milal Wa Al Nihal, Penerj. Asywadie
Syukur, (Surabaya: P.T Bina Ilmu, _____), hlm. 37.
[19] M Zurkani
Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi,.... ibid., hlm.
30-31.
No comments:
Post a Comment