BAB I : PENDAHULUAN
Sudah
maklum dalam kajian sejarah filsafat, bahwa setiap satu faham tertentu yang
baru akan mematahkan dan mengkritisi faham yang telah ada dengan
argumen-argumennya. Diantaranya ada faham yang secara prinsip mempunyai
kesamaan, ada juga yang sama sekali berbeda dan berseberangan, tak jarang
seringkali menghujad dalam mematahkan faham lawan.
Salah
satu faham yang muncul pada abad pertengahan masehi di Eropa adalah faham Rasionalisme.
Faham ini muncul dilatarbelakangi oleh pergulatan pemikiran pada masanya dalam
merespon kondisi sosial masyarakat Eropa pada waktu itu. Rasionalisme tak bisa
dilepaskan dengan era kegelapan di Eropa pada abad tersebut. Rasionalisme muncul
akibat ketidakpuasan masyarakat para cendekiawan yang hanya tunduk dan menurut
pada tradisi dogmatis Gereja dan tradisi keagamaan yang berkembang pada saat
itu. Menurut mereka semua tradisi tersebut tidak rasional dan sangat naif.
Era Aufklarung
menandai babak baru kehidupan modern di Eropa. Abad ke-17 dan 18 muncul era
aufklarung (Jerman) atau Enlightenment (Inggris) yang dalam bahasa Indonesia
biasa diterjemahkan dengan “Pencerahan” atau “Fajar Budi”.[1] Istilah
ini mencerminkan kesadaran zaman itu, mereka menganggap telah mengatasi
masa-masa dimana umat manusia mengalami era kegelapan tradisi dan dogma, serta
tunduk dan percaya tanpa mengerti. Era Aufklarung ini mencerminkan
kepercayaan akan kemajuan optimisme polos bahwa umat manusia semakin maju ke
arah rasinonalitas dan kesempurnaan moral, dan bahwa kedua-duanya itu, yaitu rasionalitas
dan kesempurnaan moral berhubungan erat satu sama lain.[2]
BAB
II: PEMBAHASAN
A.
Konsep Rasionalisme
1.
Pengertian
Rasionalisme
Secara bahasa rasionalisme bisa dipilah dari kata dasar rasional
dan isme. Rasional dapat diartikan masuk akal; sesuai dengan
nalar dll, sedangkan isme adalah faham. Jadi, rasionalisme adalah faham
yang menyatakan bahwa akal memiliki kekuatan independen untuk dapat mengetahui
dan mengungkap prinsi-prinsip pokok dari alam; atau tehadap sesuatu kebenaran
yang menurut logika, berada sebelum pengalaman, tetapi tidak bersifat analitik[3].
Secara istilah Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa rasionalisme adalah
faham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat penting dalam
memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan[4].
Rasionalisme berbeda dengan Empirisme dimana empirisme mendapatkan pengetahuan
melalui proses pengamatan secara indrawi, sedangkan rasionalisme mendapatkan
pengetahuan melalui proses berpikir secara rasional. Para penganut rasionalisme
menggunakan potensi akal untuk berpikir dengan tujuan mendapatkan pengetahuan
baru dimana alat berpikir mereka adalah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah
logika.
Rasionalisme juga dapat diartikan sebuah faham yang menganggap
bahwa akallah yang seharusnya menjadi sumber pengetahuan. Titik fokus sumber
pengetahuan dalam aliran ini adalah kemampuan akal dalam melakukan penalaran. Penalaran
adalah sebuah proses pelatihan intelektual untuk mengembangkan akal budi
manusia. Bagi advokat, nalar adalah cara membela dan menyanggah kesaksian. Bagi
ekonom, nalar adalah sarana membagi sumber daya untuk meningkatkan efisiensi,
daya guna dan kemamuran. Bagi ilmuan, nalar adalah sebuah metode –yang ada
dalam epistimologi rasional-dalam merancang percobaan untuk memeriksa
hipotesis. Bersikap rasional berarti menggunakan kecerdasan untuk menentukan
tindakan terbaik dalam mencapai sebuah tujuan[5].
Dengan rasionalisme dimaksud tuntutan agar semua claim dan wewenang
dipertanggungjawabkan secara argumentatif, dengan argumen-argumen yang tidak
mengandaikan kepercayaan dan pra-pengandaian tertentu, jadi yang dapat
diuniversalisasikan.[6]
Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu
pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio.[7]
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa rasionalisme
mengedepankan akal sebagai landasan dalam memperoleh pengetahuan. aliran ini
juga menegaskan bahwa untuk sampai kepada kebenaran, maka caranya adalah hanya
dengan akal. Aliran ini memiliki konsep yaitu meragukan segala sesuatu hingga
akal mampu menganalisis suatu hal yang mereka ragukan itu hingga akhirnya
meyakininya. Tokoh yang terkenal dengan konsep ini adalah Rene Descartes dalam
bahasa Perancis (1596-1650 M) atau Renatus Cartesius dalam bahasa Latin, dimana
ia memulai pemikirannya dengan konsep meragukan segala sesuatu yang dapat
diragukan. Ia menolak silogisme dalam logika[8].
Rasionalisme dibagi menjadi dua macam: 1) dalam bidang agama, 2)
dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan autoritas,
biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Dalam bidang filsafat
rasionalisme adalah lawan empirisme dimana rasionalisme berpendapat bahwa
sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang
paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika yang sangat
berguna bagi teori pengetahuan[9].
2.
Ciri-ciri
Rasionalisme antara lain adalah: (1) Kepercayaan pada kekuatan akal budi
manusia. (2) Penolakan terhadap tradisi, dogma, dan otoritas. Dengan ini
berpengaruh pada pelbagai bidang antara lain: bidang sosial politik, agama dan
ilmu-ilmu pengetahuan. (3) Rasionalisme mengembangakan metode baru bagi ilmu
pengetahuan yang jelas menunjukkan ciri-ciri kemodernan. (4) Sekularisasi yang
menimbulkan minimal tiga hal: pertama, demitologisasi sejarah, kedua,
alam, ketiga, perpisahan antara negara dan agama.
B.
Tokoh-Tokoh Rasionalisme dan Pemikirannya
1.
Rene
Descartes (1596-1650 M)
Descartes adalah filsuf Perancis yang dilahirkan pada tanggal 31
Maret 1596 M di wilayah Tourine, Perancis. Ia mempelajari bahasa-bahasa kuno, Sastra
(Prosa Dan Syair), Geografi, Sejarah, Astronomi, Filsafat dan Teologi. Setelah
mendapat gelar sarjana strata satu di bidang hukum, ia mengabdikan dirinya di
dunia militer. Setelah itu, ia keluar dan mulai berkelana di Eropa selama
sembilan tahun. Ia memikirkan bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan ilmu
alam dengan cara matematis. Rene Descartes berhasil menemukan ilmu mekanika-analitik,
dimana ia dapat mengungkapkan bentuk-bentuk mekanis dengan kode-kode ilmu
aljabar.[10]
Ia adalah filosof perancis, ahli matematika dan santis yang mendapatkan
pendidikan di sekolah jesuit.[11] Ia
menentang terhadap cara pendidikan yang pernah diterimanya dan mengemukakan
akan penggunaan akal sebagai alat penyelidikan falsafi.[12]
Descartes memegang bendera reformasi dan inovasi kajian filsafat
abad XVII M. Ia melandaskan filsafatnya atas asas spontanitas dan keyakinan
positif dalam matematika. Ia memanfaatkan metode matematis yang
kaidah-kaidahnya dibatasi sendiri olehnya. Ia ingin menerapkan hal itu di semua
cabang ilmu pengetahuan, agar terbukti adanya kecermatan dan keyakinan
ilmu-ilmu matematis pada ilmu-ilmu lain tersebut. Demikianlah descartes mendeklarasikan
trend rasionalisme pada masa modern. Trend inilah yang dulu dibawa plato pada
zaman klasik, sehingga karena itulah descartes pantas mendapat julukan “Bapak
Filsafat Eropa Modern”.
Pemikiran-pemikiran Descartes antara lain:
a)
Keraguan
Sebelum Keyakinan
Descartes
menciptakan metode keraguan yang ia gunakan untuk menguji pengetahuan-pengetahuannya
yang lampau, dimana ia bisa memilih yang benar dan menghindari yang salah.
Karena itulah anda menemukannya meragukan pengetahuan kita terhadap segala hal.
Ia mengatakan bahwa indra menipu kita dan kebenaran-kebenaran umum yang kita
klaim sesungguhnya mempunyai efek (kesan) fantasi dan keraguan. Bahkan lebih
jauh lagi, kita sering salah dalam pembuktian dan penetapan hukum. Sesuatu yang
dapat dilintas oleh kesalahan, maka hilanglah keyakinan darinya. Siapa tahu ada
spirit jahat yang selalu menipu kita, dimana ia menggambarkan sesuatu yang
buruk sebagai yang baik dan yang baik sebagai yang buruk kepada kita?.
Dibalik
metode keraguan yang diciptakan descartes, ada tujuan untuk sampai kepada
keyakinan. Ia menamakannya dengan Keraguan Metodologis. Descartes
menjadikannya sebagai sebuah metode atau cara untuk membebaskan akal dari
segala kesalahan. Menurut descartes, otak kita sangat mirip dengan sebuah ranjang yang dipenuhi buah-buah apel.
Ada yang bagus ada yang busuk. Cara untuk membersihkannya adalah dengan
mengeluarkan apel-apel itu dari ranjang tersebut dan memulai memilih yang bagus
satu demi satu untuk dimasukkan kembali
ke dalam ranjang. Dengan demikian, kita dapat terbebas dari yang busuk dan
menjaga yang bagus.
b)
Wujud
jiwa
Sesungguhnya,
keraguan terhadap segala sesuatu dalam pengetahuan kita dapat menyampaikan kita
kepada sebuah kebenaran yang tidak diragukan. Maka, manakala aku meragukan
bahwa aku sedang melakukan kerja berpikir dan kerja berpikir ini mesti ada
supaya aku bisa berpikir. Begitulah descartes mengucapkan ungkapan terkenalnya cogito
ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Disini kita melihat bahwa
descartes menetapkan wujud jiwa dan bukan badan, karena descartes berbicara
tentang zat yang berpikir, bukan badan yang dapat diindera.
c)
Bukti
adanya Tuhan (Allah)
Rene
Descartes mencoba membuktikan eksistensi tuhan (Allah) dengan tiga bukti. Bukti
pertama, disini Descartes meminjam metode keraguan, dengan urutan sebagai
berikut:
a.
Keraguan
adalah bukti bahwa manusia menyadari bahwa dirinya bersifat kurang dan
terbatas.
b.
Akan
tetapi manusia tidak akan menyadari kekurangan yang ada pada dirinya kecuali
jika ia memiliki ide (konsep) tentang “kesempurnaan) dan ide (konsep) tentang
“eksistensi yang betul-betul sempurna”.
c.
Tak
mungkin konsep tentang “kesempurnaan” mampu diwujudkan oleh manusia dalam
dirinya, karena dirinya adalah eksistensi yang bersifat kurang dan sesuatu yang
kurang tidak bisa menjadi sumber dari sesuatu yang sempurna.
d.
Jadi
ide (konsep) tentang kesempurnaan diletakkan dalam jiwa kita oleh suatu
eksistensi yang sungguh sempurna, yaitu allah.
Bukti
kedua, dinamakannya dengan bukti Ontologis-Eksistensialis. Descartes
memaparkannya sebagai berikut: “ketika pikiran memilah-milah pelbagai konsep
dan gambaran yang ada padanya, maka diantara berbagai konsep dan gambaran itu,
ia akan menemukan konsep tentang “eksistensi yang maha tahu dan maha kuasa di
atas segala sesuatu”. Sesuai dengan apa yang diperolehnya dari ide tersebut,
maka dengan mudah pikirannya memutuskan bahwa allah adalah wujud yang sempurna
itu.
Meskipun
pikiran mempunyai konsep-konsep khusus yang berkaitan dengan banyak entitas
lain, namun selamanya ia tidak akan melihat entitas yang meyakinkan tentang
eksistensi obyek-obyek dalam konsep-konsep tersebut. Adapun pada konsep tentang
eksistensi yang sempurna ini, pikiran bukan hanya melihat adanya kemungkinan
eksistensi, seperti halnya konsep-konsep pikiran tentang sesuatu yang lain. Bahkan,
ia melihat adanya eksistensi azali-abadi yang mesti ada.
Bukti
ketiga, disini ia berpegang pada pembuktian yang lalu tentang adanya jiwa. Jika
jiwa ada, maka bukanlah aku yang menciptakannya. Karena seandainya aku yang
menciptakan jiwaku, aku pasti akan memberinya kesempurnaan yang aku inginkan. Dengan
demikian, jiwa kita adalah akibat dari sebuah sebab lain, yaitu Allah. Seandainya
aku mengembalikan wujudku kepada eksistensi selain Allahy, maka terpaksa aku
akan membentuk rangkaian sebab-akibat hingga sampai kepada sebab pertama.
d)
Wujud
Alam Luar
Dalam
alam luar, kita menemukan banyak objek melalui indera, dimana descartes
meragukan apa yang disaksikann oleh (indera). akan tetapi menurut descartes,
akal kita memiliki kesiapan untuk menerima objek-objek itu. karena kita sudah
menetapkan keabsahan pengetahuan kita dengan eksistensi Allah, maka allah-lah
yang memberikan jaminan kepada kita akan kebenaran yang ada di hadapan akal,
karena kebaikan allah akan amaencegahnya untuk memberikan kita akal yang
menyesatkan. demikianlah descartes menegaskan kepada kita bahwa alam itu “ada”
seperti yang kita lihat[13].
2.
Leibniz
(1646-1716 M)
Gottfried Wilhelm Leibniz adalah filsuf Jerman lahir di kota Leipzig
Jerman. Ayahnya adalah seorang pengacara dan guru besar bidang etika di salah
satu universitas kota itu. Sejak kecil, leibniz mulai membaca buku-buku di
perpustakaan ayahnya. Ia kemudian melanjutkan studi di universitas tempat
ayahnya mengajar. Selanjutnya, ia mendalami filsafat dan matematika di bawah
bimbingan guru-guru besar masa itu. Ia juga meneliti pemikiran filsafat yunani
dan kristiani. Jesak itu, ia belajar filsafat kepada guru-guru besar filsafat
modern sampai ia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang hukum. Kemudia ia
pergi ke normberg, dimana ia bergabung dengan satu kelompok yang concer pada
ilmu kimia. Ia juga mempelajari matematika di paris di bawah bimbingan para
ahlinya. Leibniz pun mempelajari karangan-karangan pascal, filsafat descartes,
dan spinoza. Ia menciptakan alat hitung yang ditiru dari pascal, serta
melakukan improvisasi, karena disitu ia menambahkan: penambahan, pengurangan,
pembagian serta sebagian akar bilangan[14].
Jumlah karya-karyanya tidak bisa ditentukan, tetapi selain
makalah-makalah yang pernah ditulis, jumlah karya-karyanya mencapai lebih dari
seratus. Karya-karya itu belum sempat dipublikasikan saat ia masih hidup,
kecuali sebagian kecil saja. Sampai saat ini, karya-karya itu masih berbentuk
manuskrip-manuskrip (tulisan tangan). Diantara buku-bukunya adalah: kajian
tentang pengetahuan,hakikat dan makna, mazhab baru tentang alam dan hubungan
substansi, usaha-usaha baru dalam pemahaman manusia, monadologi.
Pemikiran Leibniz:
a)
Mazhab
Monadologi
Leibniz
mengasumsikan adanya substansi-substansi yang tak terbatas jumlahnya yang
dianggap sebagai unsur-unsur utama dalam susunan alam. Ia menyebutnya dengan
monad, artinya bagian-bagian tak terpisahkan. Monad adalah atom-atom spiritual,
bukan material dan tidak menempati ruang. Ia berbeda dengan atom yang
dipelajari ilmu-ilmu alam yang dianggap leibniz tak lain sebagai atom-atom
nyata.
Karakteristik
terpenting monad atau atom spiritual adalah sebagai berikut:
1)
Monad
adalah suatu eksistensi hidup atau atom hidup yang seluruhnya merupakan
kekuatan aktif yang selalu cenderung bekerja dan bergerak.
2)
Ia tidak
berbentuk, tidak berskala dan tidak terbagi.
3)
Ia tidak
berbentuk dari apapun dan tidak musnah sendiri, tapi mesti ada yang
menciptakannya.
4)
Dari
monad, bentuk-bentuk material tergabung.[15]
C.
Sebab-sebab Munculnya Rasionalisme
Sebagaimana
yang telah disingguh dalam pendahuluan diatas, bahwa munculnya faham
rasionalisme ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan para pemikir pada abad
pertengahan terhadap sikap masyarakat saat itu yang hanya mempercayai sebuah
tradisi, dogma gereja tanpa mau memahaminya. Mereka tidak puas dengan apa yang
selama itu mereka lakukan disebabkan campur tangan geraja yang sangat dominan
terhadap gerak-langkah mereka. Namun menurut sejarah sebenarnya secara teknis,
rasionalisme ini telah ada sejak masa yunani kuno dimana Thales telah
menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. ini dilanjutkan dengan jelas sekali
pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya (Sokrates, Plato,
Aristoteles), dan juga beberapa tokoh sesudah itu (lihat Runer, 1971:275)[16].
Satu
tokoh penting yang amat masyhur sebagai pencetus faham rasionalisme ini adalah
Descartes, seorang filosof kelahiran Perancis. Ia telah lama merasa tidak puas
terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban. Amat
lamban terutama bila dibandingkan dengan perkembangan filsafat pada zaman
sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang mengatasnamakan agama telah
menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari
dominasi agama kristen. Ia juga ingin filsafat dikembalikan kepada semangat
filsafat yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Ia juga ingin
menghidupkan kembali rasionalisme yunani[17].
Descartes
adalah tokoh awal yang membuat paradigma lain atau berbeda dengan paradigma
keilmuan para filosof sebelumnya. Ia menyebut bahwa akal (rasionalitas) adalah
sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya. Hanya pengetahuan yang
diperoleh melalui akallah yang akan memenuhi syarat yang dituntut oleh semua
pengetahuan ilmiah. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri yaitu
atas dasar asas-asas pertama yang pasti[18].
Gagasan Descartes Ini terlihat begitu kuatnya ia mengandalkan akal secara
mutlak. Karena itu, wajar ketika ia sangat anti terhadap dogma gereja yang
menurutnya tidak rasional penuh dengan mitos dan tidak dapat mendorong pada
kemajuan filsafat pada saat itu.
D.
Analisis
Pada zaman filsafat modern, tokoh pertama rasionalisme adalah Rene
Descartes. Tokoh rasionalisme lainnya adalah Baruch Spinoza dan Gottfried
Wilhelm Leibniz. Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut
Bertrand Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada Descartes karena dialah
orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat berdasarkan atas
keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dia pula orang
pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas
yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan
iman, bukan ayat suci dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak
puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban.
Bagi penganut rasionalisme, pengetahuan diperoleh melalui kegiatan
akal pikiran atau akal budi ketika akal menangkap pelbagai hal yang dihadapinya
pada masa hidup seseorang. Selain itu, dalam hal ini tidak ada penyimpulan yang
begitu saja terjadi mengenai kedudukan dari ontologis dari sesuatu yang
diketahui.[19]
Seorang penganut rasionalisme tidaklah memandang pengalaman sebagai hal yang
tidak mengandung nilai. Bahkan sebaliknya, ia mungkin mencari pengalaman-pengalaman
selanjutnya sebagai bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikan
untuk memperoleh kebenaran. Dan ia mungkin mengadakan pembedaan antara pengetahuan
dengan pendapat. Pengetahuan merupakan hasil kegiatan akal yang mengolah
hasil tangkapan yang tidak jelas yang timbul dari indera kita, ingatan, atau
angan-angan kita.[20]
Louis O. Kattsoff mencoba memberi gambaran real dengan statement
berikut:
“ Jika saya mengatakan bahwa saya melihat sebuah pohon, maka saya
tidak mempunyai pengetahuan, melainkan hanya pendapat, karena saya membuat
pernyataan itu sebagai hasil penyimpulan yang diperoleh dari tangkapan
penglihatan mata tertentu dan dari ingatan-ingatan tertentu yang sekarang saya
punyai. Mata saya mungkin menipu saya atau ingatan saya hanya dapat mengatakan
bahwa saya melihat pohon, dan sebagai akibatnya saya tidak dapat mengatakan
bahwa saya mempunyai pengetahuan tentang pohon. Tetapi jika saya mengatakan
bahwa 2+2 = 4, atau bagi setiap
kejadian tentu ada alasannya mengapa hal itu terjadi, maka saya mempunyai
pengetahuan mengenai hal-hal tersebut berdasarkan atas penalaran.”.[21]
Louis menegaskan bahwa pernyataan 1+2 = 4 bukanlah pendapat, sebab
tidak mungkin untuk mengingkarinya, atau mustahil menerima kebenaran dari hasil
penjumlahan yang tidak benar seperti 2+2 = 5. karena itulah, bagi kalangan
rasionalisme, ukuran kebenaran adalah kemustahilan untuk mengingkari dan untuk
dipahamkan yang sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Rasionalisme merupakan
aliran falsafah yang berpandangan bahwa dasar dan sumber pengetahuan, atau
secara umum falsafah adalah akal atau rasio. Akal yang bisa dijadikan dasar
sekaligus sumber pengetahuan, sehingga berhasil memperoleh pengetahuan yang
tetap dan pasti, serta absolut dan universal.
Sebagai sebuaha epistemologi, rasionalisme menggunakan
aksioma-aksioma, pengertian-pengertian atau prinsip-prinsip umum rasional yang
bersifat apriori, sebagai basis pengetahuan sekaligus sebagai sumber. Apa yang
bersesuaian dengan prinsip-prinsip dimaksud ini, dan segala hal yang dapat
didedukasikan dan prinsip-prinsip tersebut, itulah pengetahuan bagi kalangan
rasionalisme. Sesuatu yang tidak didedukasikan dari prinsip-prinsip apriori
atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut, itu bukanlah pengetahuan, ia
hanyalah sekedar opini.[22]
Rasionalisme keberpihakanya hanya terhadap akal atau rasio,
rasionalisme pada akhirnya memang banyak
menuai kritik. Tak lama sepeninggal Rene deskrates sang bapak kontinental rasionalisme,
David Huge misanya, telah mengkritik bahwa akal hanyalah sekedar budak daripada
nafsu, yang tidak bisa tidak mengapdi kepada nafsu, pastinya selalu mengapdi.
Namun demikian, problem dan kritik
rasionalisme tersebut, tentunya bukan berarti bahwa rasionalisme tidak
mempunyai arti atau manfaat sama sekali. Sebaliknya, sebagai sebuah aliran
falsafah.[23]
Melalui bapak kontinentalnya, rasionalisme telah menjadi pintu utama bagi
kelahiran falsafah bapak modern, yang pada giliranya telah berhasil melahirkan
berbagai aliran-aliran falsafah lainya, termaksud aliran yang menentangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum: Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Cetakan Ketujubelas, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2009.
Cecep Sumarna, Rekonstruksi
Ilmu dari Empirik-Rasional Ateistik ke Empirik-Rasional Teistik, Cetakan
Pertama, Bandung: Benang Merah Press. 2005.
Franz Magniz-
Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Cetakan Keempat, Yogyakarta:
PENERBIT KANISIUS. 1995
Fuad Ismali dan
Abdul Hamid Mutawali, 2012. Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan Islam), Yogyakarta:
IRCiSoD, 2012
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: ( dari Machiavelli sampai Nietzsche), Jakarta:Gramedia, 2004.
Harold H. Titus
Dkk, Living Issues In Philosophy, diterjemah oleh: M. Rasjidi, Jakarta:
P.T. Bulan Bintang, 1984.
Juhaya S.
Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Louis O.
Kattsoff, Element Of Philosophy, diterjemah oleh: Soejono Soemargono,
cet. ke-7, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1987.
Tim Gama Press,
Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap, Cetakan Pertama, __________: GAMA
PRESS. 2010.
[1] Franz
Magniz-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS,1995),
cet. ke-4, hlm. 65
[2] ibid,
hlm. 66
[3] Tim Gama Press, Kamus Ilmiah Populer Edisi Pengkap,
(_________: Gama Press, 2010). hlm. 532.
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati
Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), cet ke-17,
hlm. 127.
[5] Cecep Sumarna, Rekonstrukti Ilmu dari
Empirik-Rasional Atesi ke Empirik-Rasional Teistik, (Bandung: Benang Merah
Press, 2005), ibid, hlm.76-77.
[6]
Franz Magnis
Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS,
1992), hlm. 65.
[7]
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat Dan
Etika, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 91.
[10]
Fuad Ismali dan
Abdul Hamid Mutawali, Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan Islam),
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), Hlm. 71-78.
[11] Harold H.
Titus Dkk, Living Issues In Philosophy, diterjemah oleh: M. Rasjidi, (Jakarta:
P.T. Bulan Bintang, 1984), Cet. Ke-1, Hlm. 77.
[13] Fuad Ismali
dan Abdul Hamid Mutawali,..........ibid., hlm. 71-78.
[14] ibid.
[15] ibid.,
hlm. 80-83.
[16] Ahmad Tafsir, ibid.,
hlm. 128
[17] Ibid., hlm. 128.
[18] Cecep Sumarna,
ibid., hlm. 80
[19] Louis O.
Kattsoff, Element Of Philosophy, diterjemah oleh: Soejono Soemargono,(Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1987), cet. ke-7. hlm. 140.
[21] Ibid.,
[23]F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: ( dari Machiavelli sampai Nietzsche), Jakarta:Gramedia, 2004.
No comments:
Post a Comment