HERMENEUTIKA :
SEJARAH, TOKOH, PRO DAN KONTRA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Persoalan penafsiran
atau hermeneutika al-quran adalah sui genesis; ia berkaitan dengan
teks dan konteks sosio-historis seorang penafsir pada satu sisi, dan pada sisi
lain menjadi semakin kompleks ketika hermeneutika, sebagai sebuah metode,
digunakan untuk melakukan pembaharuan terhadap realitas pemikiran umat islam
saat ini[1].
Dua kenyataan ini menjadi semakin faktual ketika hermeneutika dengan semangat “quranic
turn’ atau kembali kepada al-quran, pada kenyataannya, secara historis
melanjutkan semangat pembaharuan yang dilakukan para pembaharau islam abad
kesembilan belas dan keduapuluh. Namun kekuatan pembaharuan sebuah pemikiran
keagamaan—seperti lazimnya yag terjadi di semua agama—pada kenyataannya akan
selalu tampil dan terkondisikan oleh sosio-historis-politis yang melahirkan dua
poros pemikiran. Kalangan yang menerima, umumnya bersikap apresiatif dan kritis
dalam menyikapi tawaran demi tawaran sebagai proses dialektika intelektual yang
kreatif. Sedangkan kalangan yang menolak—kelompok yang sering dianggap
ortodoks—biasanya bersikap reaksioner dan apatis yang terkadang menggunakan
cara-cara yang cenderung teologis-dogmatik sehingga melahirkan
tuduhan “pengkafiran” dan “pemurtadan” terhadap pemikir tersebut.[2]
Pada makalah kali ini,
penyusun akan mencoba mengulas kembali tentang hermeneutika; sejarah dan
kaitannya dengan teks Agama. Tujuannya adalah agar kita memahami setidaknya
terkait apa yang dimaksud hermeneutika itu sebenarnya? dan bagaimana Peran
hermeneutika dalam teks keagamaan khususnya dalam teks al-Quran?, agar tidak
terjadi kesalahfahaman mengenai hermeneutika yang selama ini akrab di telinga
kita, baik dalam diskusi maupun wacana pemikiran dalam buku-buku referensi. Dua
pertanyaan ini menjadi fokus kajian dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hermeneutika
Secara etimologis, kata
hermeneutika diambil dari bahasa Yunani, yakni hermeneuein, yang berarti “menjelaskan”
(erklaren, to explain). Kata tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa
Jerman hermeneutika dan bahasa Inggris hermeneutics.
Sebagai sebuah istilah, kata tersebut didefinisikan secara beragam dan
‘bertingkat’.[3] Keberagaman
dan kebertingkatan definisi hermeneutika dikemukakan oleh Hans-Georg Gadamer
dalam artikelnya “Classical and philosophical hermeneutics” yang di dalamnya
dia mengemukakan bahwa sebelum digunakan sebagai disiplin keilmuan, istilah
tersebut me-refer pada practice/techne (sebuah aktifitas) penafsiran dan
pemahaman. Dalam hal ini Sahiron Syamsuddin memaparkan pernyatan Gadamer dalam
artikel tersebut sebagai berikut:
Hermenetics is the parcial art, that is, a techne involved in such thing as
preaching, interpreting other languages, explaining and explicating texts, and
as the basic of all these, the art of understanding, an art
particularly required any time the meaning of something is not clear and
unambigious.[4]
(Hermeneutika adalah seni praktis, yakni techne, yang digunakan dalam
hal-hal seperti berceramah, menafsirkan bahasa-bahasa lain, menerangkan dan
menjelaskan teks-teks, dan sebagai dasar dari semua ini (ia merupakan) seni
memahami, sebuah seni yang secara khusus dibutuhkan ketika makna sesuatu (teks)
itu tidak jelas).
Richard E. Palmer
menyatakan bahwa akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata
hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, “ Interpretasi”.[5] Ia
menambahkan bahwa kata Yunani hermeios mengacu pada seorang pendeta bijak
delphic. Kata hermeios dan kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata
benda hermenia diasosiasikan pada dewa Hermes, dari sanalah kata itu
berasal (atau vice versa?). Tepatnya, Hermes
diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada dibalik pemahaman manusia
dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Bentuk kata yang
beragam itu mengasumsikan adanya proses menggiring sesuatu atau situasi dari
yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi dipahami. Orang
Yunani berhutang budi pada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan—sebuah
mediasi dimana pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikan pada
orang lain.[6]
Awalnya, hermeneutika
digunakan oleh kalangan agamawan. Melihat hermeneutika dapat menyuguhkan makna
dalam teks klasik, maka pada abad ke-17, kalangan Gereja menerapkan telaah
hermeneutis untuk membongkar makna teks Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam
memahami bahasa dan pesan kitab suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan
itu akan terbantu pemecahannya oleh hermeneutika. Karena itu, dalam posisi ini
hermeneutika dianggap sebagai metode untuk memahami teks kitab suci.[7] Memasuki
abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang. F.D.E S Schleiermacher,
filsuf yang kelak digelari bapak Hermeneutika Modern, memperluas cakupan
hermeneutika tidak hanya dalam bidang sastra dan kitab suci. Ia
melihat bahwa sebagai metode interpretasi, hermeneutika sangat besar artinya bagi
keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua kalangan. Faktanya, sekarang berbagai
disiplin ilmu menyadari arti pentingnya dalam hermeneutika, di zaman
ini telah masuk kebidang-bidang semisal agama (kitab suci), sastra, sejarah,
hukum, dan filsafat.[8]
Secara terminologis,
hermeneutika dapat diartikan suatu proses mengubah sesuatu dari situasi dan
makna yang tidak dapat diketahui menjadi dimengerti.[9] dari
pengertian ini, maka upaya mengubah sesuatu yang tidak dapat dipahami menjadi
bisa dipahami tentu membutuhkan sejumlah media. Karena manusia dibekali potensi
untuk bisa berkomunikasi baik lisan maupun tulisan ataupun isyarat, maka salah
satu media penting adalah dengan bahasa. Schleiermacher menjelaskan bahwa
hermeneutika dimaksudkan sebagai usaha untuk mengangkat filologi [ilmu-ilmu
bahasa] dan segala disiplin penafsiran lainnya kepada level Kunstlehre, yakni
kumpulan metode yang tidak terbatas pada kegiatan penafsiran yang parsial
dengan membawa disiplin ini kepada perumusan prinsip-prinsip penafsiran yang
lebih bersifat umum (Ricoeur 1982:45).[10]
B. Aliran-aliran Hermeneutika
Aliran hermenutika pada
dasarnya sangat beragam, dalam satu aliran saja terdapat model-model pemikiran
yang bervariasi yang saling melengkapi satu terhadap yang lainnya. Masing-masing
pemikir memiliki karakteristik pemikirannya sendiri. Meskipun demikian, sahiron
memberi klasifikasi melihat dari segi pemaknaan terhadap obyek penafsiran,
aliran hermeneutika dapat dibagi menjadi tiga kelompok aliran utama: (1) aliran
Obyektivis, (2) aliran Subyektivis, (3) aliran Obyektivis-cum-Subyektivis.
Adapun definisis masing-masing aliran tersebut adalah[11]:
1. Aliran obyektivis: aliran yang lebih
menekankan pada pencarian makna asal dari obyek penafsiran (teks
tertulis, teks diucapkan, prilaku, simbol-simbol kehidupan, dll). Jadi,
penafsiran adalah upaya merekonstruksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks.
Diantara yang bisa digolongkan dalam aliran ini adalah pemikiran schleiermacher
dan Dilthey.
2. Aliran Subyektivis: aliran yang lebih
menekankan pada peran pembaca/penafsir dalam pemaknaan terhadap teks.
3. Aliran Obyektivis-cum-subyektivi atau
aliran tengah-tengah antara dua aliran di atas. Pemikiran yang masuk pada
kategori ini adalah pemikiran Gadamer dan Gracia. Aliran ini memberikan
keseimbangan antara pencarian makna asal teks dan peran pembaca dalam
penafsiran.
Untuk memokuskan kajian
ini, penyusun akan memaparkan satu tokoh sekaligus teori-teorinya tentang
hermeneutika. Salah satu tokoh hermeneutik modern yang cukup terkenal di Eropa
adalah Schleiermacher. Ia termasuk dalam aliran Obyektivis atau aliran yang
fokus kajiannya ada pada pencarian makna teks atau rekonstruksi makna teks.
Ø Friedrich Schleiermacher
(1768-1834)
Friedrich Daniel Ernst
Schleiermacher dilahirkan pada tahun 1768 di Breslau (Jerman) dalam
keluarga Protestan. Ia menempuh pendidikan di Institusi-institusi Morovian
Bretheren, sebuah sekte militan dalam agama Kristen, namun sangat tertarik
dalam humanisme. Karena dia skeptik terhadap beberapa doktrin Kristiani di
lembaga-lembaga tersebut, dia pada tahun 1787 pindah ke University Of Halle
yang dipandangnya lebih liberal, namun di perguruan tinggi ini dia
tetap menggeluti teologi, disamping filsafat dan filologi klasik sebagai minor
field. Dia lulus ujian dalam bidang teologi Kristen pada tahun 1790, lalu
bertugas sebagai pengajar/tutor suasta (privat tutor) hingga tahun 1793. Konon
dia diberhentikan sebagai pengajar karena dia mendukung French Revolution
(revolusi Prancis), sementara employer-nya (pemberi pekerjaan) menolak revolusi
tersebut.
Pada rentang waktu
antara tahun 1790-1793/4 Schleiermacher, selain sibuk mengajar, menyempatkan
diri untuk mempelajari dan mengkritisi pemikir-pemikir besar, seperti Immanuel
Kant dan Spinoza. Sebagai hasilnya adalah karya-karyanya seperti On What Gives
Values to Life (1792-3) dan On Freedom (1790-3) yang didalamnya dia mengkritik
beberapa pemikiran Kant, seperti doktrin “Postulates of an after life of the
soul and God (postult-postulat kehidupan akhirat jiwa dan tuhan), dan
mengembangkan teori anti-kant tentang causal determination of human action
(‘takdir’ kausal tindakan manusia) yang digabungkan dengan rasa tangggung jawab
moral (moral responsibility). Schleiermacher juga menulis karya-karya yang
membela dan memodifikasi pemikiran-pemikiran Spinoza, seperti Spinozism (
1793-4) dan Brief Presentation Of Spinozist System (1793-4).
Selama kurun waktu
antara 1794 dan 1796, Schleiermacher beraktifitas sebagai pastor di Landsberg
dan pada tahun 1796 dia pindah ke Berlin untuk bekerja di sebuah rumah sakit.
Di kota inilah dia bertemu dengan beberapa pemikir yang beraliran romantisis
seperti Friedrich dan August Wilhelm Schlegel. Bersama mereka, dia terlibat
dalam ‘gerakan romatisis’ (romantic movement) dan menerbitkan jurnal Athenaeum,
meski hanya terbit sebentar, yakni tahun 1798-1800. Pada tahun 1799 dia
menerbitkan karya yang sangat penting dan radikal dalam bidang filsafat agama,
On Religion: Speeches to its cultured despisers. Aliran romantisis (
atau aliran obyektivis) inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran-pemikiran
hermeneutikanya.
Pada tahun-tahun
berikutnya, dia melakukan aktivitas dan menulis banyak artikel dan buku yang
tidak perlu saya sebutkan di sini. Pada tahun 1810 dia diangkat sebagai seorang
professor teologi di University of Berlin dan pada tahun 1811 dia
menjadi anggota bagi Berlin Academy Of Science. Sejak sejak saat itulah dia
banyak memberikan perkuliahan dalam bidang teologi dan filsafat serta
menerbitkan lebih banyak lagi karya-karya berharga bagi pengembangan pemikiran
dalam bidang filsafat bahasa, teologi dan hermeneutika. Dia meninggal dunia
tahun 1834.
Ø Hermeneutika ala
Schleiermacher
Secara garis besar,
pemikiran Schleiermacher dalam soal hermeneutika terkait dengan dua hal
mendasar yaitu Hermeneutika grammatikal dan psikologis. Kedua bentuk ini
menurut dia saling melengkapi dan memiliki peran yang penting dalam penafsiran
suatu teks. Sahiron Syamsuddin mengutip pernyataan Schleiermacher sebagai
berikut: “understanding is only a being-in-one-another of these two
moments [of the grammatical and psychological]”. (pemahaman hanyalah
sebuah keberadaan dalam kedua momen yang saling terkait [yakni grammatikal dan
psikologis]).
Sahiron juga mengutip
pernyataan Vedder yang berisi tentang penjelasan atas pernyataan schleiermacher
diatas, yaitu: “das eine [das grammatische] studiert die sprache und
geschichte [objective ausrichtung], das andere [psychologische/technische]
studiert sprache als ausdruck des personlichen lebens [subjective ausrichtung]”.
(Hermeneutika yang satu [yakni hermeneutika grammatikal] mempelajari bahasa dan
sejarah [orientasi obyektif], dan hermeneutika yang satu lagi/ yang lain [yakni
hermeneutika psikologis/teknis] mengkaji bahasa sebagai ungkapan hidup
seseorang [orientasi subyektif]). Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa
schleiermacher hendak mengatakan bahwa kedua aspek tersebut tidak ada yang
lebih unggul atau rendah, keduanya menurutnya setara dan diperlukan dalam
intepretasi sebuah teks.
· Hermeneutika Grammatikal
Hermeneutika gramatikal
adalah penafsiran yang didasarkan pada analisis bahasa. Karena itu, seorang
penafsir teks harus menguasahi aspek-aspek bahasa. Semakin dia menguasahi
bahasa, semakin baik penafsirannya. Dalam ha ini Schleiermacher mengatakan:
“The succcessful practice of the art depends on the talent of
language.......(praktek seni penafsiran yang sukses itu tergantung [antara
lain] pada talen bahasa). Bagi Schleiermacher, hermeneutika grammatikal ini
merupakan sisi ‘obyektif’ penafsiran. Menurut Schleiermacher, ada beberapa
prinsip dan kaedah linguistik yang harus dipegangi, diantaranya adalah sebagai
berikut[13]:
Pertama, “everything in
a given utterance which requires a more precise determination may only be
determined from the language area which is common to the author and his
original audiences” (segala hal yang ada dalam ungkapan tertentu yang menuntut
penentuan [makna] yang lebih tepat hanya dapat ditetapkan melalui bidang bahasa
yang telah diketahui oleh pengarang dan audiens orisinal/aslinya). Prinsip ini
memberikan pengertian bahwa dalam upaya memahami sebuah teks, seseorang harus
mencari tahu makna kata-kata dan konteksnya yang memang telah dikenal oleh
pengarang dan audiensnya. Sistem bahasa yang harus diperhatikan menurut
Schleiermacher, adalah sistem bahasa yang ada pada saat munculnya teks yang
ditafsirkan itu. Hal ini bertujuan agar seorang penafsir mampu mencapai makna
obyektif.
Kedua, “the sense of
every word in a given location must be determined according its being togehter
with those that surround it” (makna setiap kata pada tempat tertentu harus
ditentukan sesuai kebersamaannya dengan kata-kata lain yang berada
disekitarnya). Apa yang dikemukakan oleh Schleiermacher ini to agreat extent
merupakan apa yang dimaksud dengan analisa sintagmatis. Menurut analisa ini,
makna suatu kata dalam sebuah kalimat dapat diketahui dengan cara memperhatikan
makna kata-kata yang berada sebelum dan sesudah kata tersebut dalam rangkaian
satu kalimat. Selain itu, Schleiermacher juga menekankan pentingnya perhatian
pada ‘hubungan antarelemen dalam kalimat dan hubungan antar kalimat’.
Ketiga, “the vocabulary
and the history of the era of an author relates as the whole from which his
writings must be understood as the part, and the whole must, in turn, be
understood from the part” (kosakata [bahasa] dan sejarah era pengarang
dipandang sebagai ‘keseluruhan’ [whole] yang darinya tulisan-tulisannya harus
dipahami sebagai ‘bagian’ [part], dan ‘keseluruhan’ [whole] pada gilirannya
harus dipahami ‘bagian[-bagian]nya’ [part]). Menurut prinsip ini, karya
seseorang merupakan bagian dari bahasa dan kehidupan pengarang. Hubungan
timbal-balik antar whole dan part/particular disebut hermeneutical circle
(lingkaran hermeneutik). Karya seseorang bisa dipahami secara lebih baik dengan
cara memperhatikan sistem bahasa yang dimiliki oleh pengarang dan sejarah
hidupnya. Demikian pula sebaliknya, sistem bahasa dan perjalanan hidup
seseorang bisa dipahami dan diketahui melalui tulisan/karyanya.
· Hermeneutika Psikologis
Secara garis besar,
Schleiermacher berpendapat bahwa seseorang tidak bisa memahami sebuah teks
hanya dengan semata-mata memperhatikan aspek bahasa saja, melainkan juga dengan
memperhatikan aspek ‘kejiwaan’ pengarangnya. Seorang penafsir teks harus
memahami seluk-beluk pengarangnya. Bagi Schleiermacher, makna teks tertentu
tidak bisa dilepaskan dari intensi/maksud pengarangnya. Menurutnya, teks itu
tidaklah otonom, melainkan dependent (tergantung) pada dan
terikat oleh pencipta teks. Pertanyaannya adalah: bagaimana kita bisa memahami
‘kejiwaan’ pengarang sehingga teks yang diproduksinya bisa dipahami secara
benar?.
Dalam hal ini,
schleiermacher menawarkan dua metode penting, yakni divinatory method (metode
divinatori ) dan comparative method (metode perbandingan).
Yang dimaksud dengan divinatory method adalah “the one in
which one transforms oneself into the other person and tries to understand the
individual element directly”,(metode dimana seseorang mentransformasikan
dirinya atau ‘memasukkan’ dirinya ke dalam [kejiwaan] orang lain dan mencoba
memahami orang itu secara langsung). Adapun metode kedua, comparative method adalah
bahwa seorang mufassir berusaha memahami seseorang dengan cara membandingkannya
dengan orang-orang lain, dengan asumsi bahwa mereka sama-sama memiliki ‘sesuatu
yang universal’ (universal thing), atau dengan kata lain:
‘kesamaan-kesamaan’. Schleiermacher menegaskan bahwa kedua metode tersebut
tidak bisa dipisahkan. Hal ini didasarkan pada hal berikut: “for devination
only recieves its certainty fia confirmatory comparasion, because without this
it can always be incredible” (divination [‘memasuki psikologi seorang secara
langsung’] bisa memcapai kepastiannya hanya melalui perbandingan konfirmatif,
karena tanpa hal itu, ia selalu tidak bisa dipercaya [increible]).
Schleiermacher memandang
penting pengkajian tentang aspek-aspek kejiwaan pengarang teks karena dia
berasumsi bahwa teks itu merupakan ekspresi diri seorang, dan ekspresi diri
seorang merupakan respon terhadap apa yang telah dan atau sedang dihadapinya.
Dengan kata lain, teks mesti memiliki hubungan dengan apa yang ada di sekitar teks,
karena apa yang ada di sekitar teks inilah yang mempengaruhi jiwa seseorang
dalam mengekspresikan isi hatinya (kejiwaan).[14]
Untuk
dapat memahami maksud pengarang sebagaimana yang tertera dalam
tulisan-tulisannya, karena style dan karakter bahasanya berbeda, maka tidak ada
jalan bagi penafsir kecuali harus keluar dari tradisinya sendiri untuk kemudian
masuk ke dalam tradisi di mana si penulis teks tersebut hidup, atau paling
tidak membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman itu. Sedemikian, sehingga
dengan masuk pada tradisi pengarang, memahami dan menghayati budaya yang
melingkupinya, penafsir akan mendapatkan makna yang objektif sebagaimana yang
dimaksudkan si pengarang.[15]
· Menghindari
Kesalahpahaman (misunderstanding)
Aturan-aturan dan
prinsip-prinsip tersebut di atas, menurut Schleiermacher, harus diperhatikan
dengan baik untuk menghindari kesalahpahaman (misuderstanding).
Schleiermacher mengatakan “.....misunderstanding must be avoid” (kesalahpahaman
harus dihindari). Menurutnya, ada dua bentuk kesalahpahaman: (1) “qualitative
misunderstanding” (kesalahpahaman kualitatif), yakni kesalahpahaman tehadap
isi teks, dan (2) “quantitative misunderstanding” (kesalahpahaman
kuantitatif), yakni kesalahpahaman terhadap tone (nuansa)
teks. Selain itu dari segi lain, kesalahpahaman juga bisa dibagi ke dalam dua
macam: (1) “positive misunderstanding” (kesalahpahaman positif), yakni “an
isolated moment” atau kesalahan tanpa adanya kesengajaan, dan (2) “active
misunderstanding” (kesalahpahaman aktif), yakni “the imputation
which is, though, the consequence of one’s own prejudice” (memasukkan
makna [dengan kesengajaan] yang merupakan konsekuensi dari prejudis/prasangka
diri seseorang/penafsir) dan “one side preference for what is close to the
individual’s circle of ideas and the rejection of what lies outside it” (pengutamaan
satu sisi terhadap sesuatu yang dekat pada lingkaran ide seseorang [penafsir]
dan penolakan terhadap apa yang ada di luar ide tersebut).
Untuk menghindari
kesalahpahaman-kesalahpahaman tersebut, menurut Schleiermacher, seorang
penafsir harus melakukan kajian dan analisis sebagai berikut:
1. Apa yang disebut objectively
historical analysis (analisis historis yang bernuansa obyektif), yakni
sebuah analisis yang dapat memberikan pengetahuan sejauh mana sebuah ungkapan
itu berhubungan dengan ‘totallitas bahasa’ (totality of language) dan
pengetahuan yang tertuang dalam ungkapan tersebut merupakan ‘produk bahasa’ (product
of language).
2. Objectively divinatory
analysis (analisis divinatori yang bernuansa
obyektif), yakni sebuah analisis yang memberikan kesadaran bahwa ungkapan itu
akan menjadi satu titik perkembangan bahasa.
3. Subjectively historical
analysis (analisis historis subyektif), yakni
sebuah analisis historis terkait subyektifitas pengarang ungkapan (author)
untuk mengetahui bagaimana ungkapan tertentu itu merupakan fakta yang terdapat
di dalam pikiran author.
4. Subjectively divinatory
anlysis (analisis divinatori subyektif) adalah
analisis untuk mengetahui bagaimana pemikiran-pemikiran yang terdapat di dalam
otak (mind) pengarang itu mempunyai efek/pengaruh padanya ketika
mengungkapkan suatu ungkapan.
Semua teori penafsiran yang
telah disebutkan di atas bertujuan agar seorang mufassir mampu menguak kembali
makna yang secara historis dimaksudkan oleh penyusun teks (author), atau
dengan kata lain, makna obyektif. Meskipun demikian, obyektifitas yang dimaskud
di sini bukanlah obyektifitas total, melainkan quasi-obyektifitas atau
psuedo-obyektifitas. Dia berkata: “that objective is only to be achieved by
approximation” (hal yang obyektif itu hanya dicapai dengan perkiraaan).[16]
Mengikuti
metode hermenutika objektif di atas, dalam aplikasinya pada teks keagamaan,
misalnya dalam penafsiran atas teks-teks al-Qur`an, maka yang harus dilakukan
adalah, (1) kita berarti harus mempunyai kemampuan gramatika bahasa Arab (nahw-sharaf) yang memadai, (2)
memahami tradisi yang berkembang di tempat dan masa turunnya ayat, sehingga
dengan demikian kita dapat benar-benar memahami apa yang dimaksud dan
diharapkan oleh teks-teks tersebut. Begitu pula dalam kasus teks-teks sekunder
keagamaan, seperti karya-karya al-Syafi`i (767-820 M) misalnya. Selain memahami
karakter bahasa dan istilah-istilah yang biasa digunakan, kita juga harus paham
tempat dan tradisi di mana karya-karya tersebut ditulis. Qaul al-qadîm dan qaul
al-jadîd disampaikan di tempat dan
tradisi yang berbeda. Selain itu, juga harus memahami kondisi psikologis
Syafi`i sendiri, apakah ketika itu menjadi bagian dari kekuasaan, sebagai
oposan atau orang yang netral. Karya-karya Ibn Rusyd (1126-1198 M), misalnya,
sangat berbeda ketika ia berposisi sebagai bagian dari kekuasaan (menjadi
hakim) dan saat menjadi filosof. Tanpa pendekatan-pendekatan tersebut, menurut
Schleiermacher, kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pemahaman menjadi sangat
besar dan tidak terelakkan.[17]
C. Pro-Kontra Hermeneutika
Nasr
abu zaid memosisikan teks al-Qur’an sebagai teks bahasa yang bersifat
kemanusiaan. Karena teks yang bersifat ilahi (nassan ilahiyan) itu, telah
menyejarah dan termanusiakan menjadi teks yang bersifat manusiawi (nassan basyariyyan)
yang tercermin karakteristiknya dalam bahasa tertentu, yakni bahasa arab.
Kendati banyak disalahpahami, tetapi sesungguhnya yang dimaksud “produk budaya”
di sini adalah al-Qur’an pada level bahasa, atau ditempatkan sebagai teks
berbahasa. Karena yang ada dihadapan pembaca terdapat “problem jarak” yaitu
antara peristiwa ketika pesan tersebut diturunkan, baik ruang maupun waktu, dan
bagaimana situasi dan kondisi yang melingkupinya dengan kondisi sekarang yang
terentang selama beberapa abad.[18]
Menurut
Nasr Abu Zaid, dan juga para hermeneut lainnya, untuk sampai kepada suatu
pemahaman yang obyektif, harus dilakukan suatu bentuk pemetaan terhadap status
ontologis teks al-Quran dan interpretasinya. Dimana ia merupakan produk suatu
kebudayaan yang berbentuk pola simbol atau dalam wujud bahasa yang mengandung
makna dan maksud tertentu, sedangkan interpretasi itu sendiri merupakan bentuk
akhir dari tanda (simbol) yang dimaksud. Peranan hermeneutika pada wilayah ini
sangat signifikan, karena situsi ini berusaha menganalisis dan menjelaskan
teori interpretasi teks (nadriyat al-ta’wil al-nusus) dengan mengajukan
pendekatan-pendekatan keilmuan yang lain, yang dengan sendirinya menguji proses
pemahaman mekanisme interpretasi dan penjelasan. Oleh karenanya, tiga relasi
dalam hermeneutika, yaitu antara muallif-al-nass-al-naqid atau al-qasd-
al-nas al-tafsir, harus dapat
dibaca terlebih dahulu. Akan tidak mudah melakukan pengambilan makna, atau
kritik wacana keagamaan dilakukan, tanpa terlebih dahulu memetakan tiga relasi
tersebut. Pada tahapan selanjutnya, menurut Nasr Abu Zaid, hermeneutika
mengulas problem “jarak” dalam suatu tradisi keagamaan, yaitu jarak yang
mungkin akan membantu untuk lebih dekat kepada kesadaran ilmiah terhadap
tradisi keagamaan ini. Artikulasi dari pemahaman tersebut termanifestasikan
dalam kajiannya tentang teori konteks sosio-kultural (al-siyaq al-saqafi
al-ijtima’i), konteks ekstern atau pewacanaan (al-siyaq al-takhatabi) konteks
intern (al-siyaq al-daakhili), kontek pembacaan (al-siyaq al-tafsiri).[19]
Untuk
menjembatani jurang pemisah dan perbedaan persepsi diametral yang berkaitan
dengan khasanah bahasa al-Quran, Nasr Abu Zaid mengajukan teori-teorinya di
bidang linguistik yang dipelopori oleh Ferdinand De Saussure, dan juga banyak
digunakan para islamis dan islamisis lainnya di berbagai belahan dunia. Dua
kata kunci disini adalah konsep kalam, yang diidentikkannya sebagai parole, atau lughat/lisan sebagai languae.
Jika berbicara terus menerus tentang kalam, tentu tidak banyak yang bisa
diungkap, sebab hal itu bersifat metafisis dan diluar jangkauan kemanusiaan.
Oleh karenanya, yang dominan
diulas oleh nasr abu zaid adalah aspek lughat/lisan. Al-Quran sebagai produk
budaya adalah berada pada dataran lisan dan lughat-nya, bukan kalam sebagaimana
disalahpahami oleh para pengkritiknya.[20]
Perkembangan
Hermeneutika dalam tradisi Bible tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kristen
dan peradaban Barat (Eropa), yang banyak dipengaruhi oleh trauma Barat terhadap
otoritas Gereja, dan problematika teks Bible itu sendiri. Perkembangan tradisi
kritiks teks dan kajian historisitas Bible telah membuka pintu lebar-lebar
terhadap perkembangan hermenutika modern yang kemudian mensubordinasikan metode
interpretasi Bible ke dalam prinsip-prinsip hermeneutika umum. Sebagai satu
teks, Bible memang memiliki penulis (author). Banyak teori yang dikemukakan
seputar penulisan Bible ini, maka dari itu metode hermeneutika
sangat menekankan pada aspek historisitas dan kondisi penulis teks.[21]
Dalam
Konteks ini, yang menjadi pertanyaan adalah: apakah hermeneutika yang
diterapkan dalam teks Bible dapat juga diterpakan dalam teks al-Qur’an?.
Mengenai hal ini ada tiga kelompok yang berbeda pandangan terkait penggunaan
hermeneutika dalam Studi Al-qur’an. Aksin Wijaya menjelaskan ketiga kelompok
tersebut dalam kontek studi al-Qur’an pada mushaf Usmani sebagai berikut: pertama,
kelompok yang menolak penggunaan hermeneutika dalam studi Mushaf Usmani dengan
alasan hermenutika berasal dari Tradisi Yunani yang kemudian diadopsi oleh
Kristen. Pandangan dunia yang melahirkan hermeneutika berbeda dengan pandangan
dunia Islam. Andaikata ia digunakan dalam studi Mushaf Usmani, justru akan
menghilangkan dimensi
Ilahiyah Mushaf Usmani itu sendiri.[22]
Aksin
menilai bahwa kelompok ini terkadang menolaknya tanpa disertai pemahaman yang
benar terhadap hermeneutika berikut model-modelnya. Penolakan lebih didasari
oleh pertimbangan ideologis. Apapun yang datang dari luar, ia harus ditolak.
Dalam menyikapi kelompok pertama ini, Sahiron Syamsuddin juga mengatakan
berikut: “sebagian
sarjana/ ulama menolaknya secara totalitas, hal ini dapat kita lihat pada,
misalnya, Keputusan Bahtsul Masa’il NU dan Keputusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah”.[23] Kedua,
kelompok ini menerima secara mentah-mentah dan bahkan mengizinkan penggunaan
hermeneutika apa saja ke dalam Studi Mushaf Usmani tanpa memilah-milah model
hermeneutika yang membawa manfaat dan tidak dalam studi Mushaf Usamni. Mereka
berkeyakinan, dari mana pun datangnya sesuatu, selama ia membawa manfaat bagi
umat Islam, harus diambil. Lebih-lebih teori tafsir yang selama ini menguasahi
pentas penafsiran Mushaf Usmani tidak lagi mampu menawarkan pemahaman baru
terhadap Mushaf Usmani yang mempu (untuk) menjawab berbagai tantangan modernitas.
Karena sikap kelompok ini terlalu vulgar, maka ada kesan, mereka memaksakan
sesuatu pada mushaf Usmani yang sebenarnya tidak ada hubungannya.[24]
Ketiga, kelompok ketiga muncul mengambil jalan tengah
sebagai alternatif dari sikap ekstrem di atas. Kelompok ini mengambil teori
hermeneutika tertentu guna
mendukung upaya mengungkap pesan ilahi tanpa mengesampingkan keilahian Mushaf
Usmani. Kelompok ini sejalan dengan hadis Nabi(Saw), “Hikmah itu milik
orang-orang yang beriman, dimanapun ia ditemui, maka mereka lebih berhak
terhadap hikmah itu”. Sikap kelompok ketiga ini juga sejalan dengan kaidah NU,
“Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik”,
kendati pada saat yang sama, para pengguna kaidah ini juga ada kelompok yang
menolak hermeneutika.[25]
Mengenai
pendapat kelompok ketiga ini, Sahiron Syamsuddin memberikan beberapa argumen
cukup menarik. Ia berasumsi bahwa ide-ide hermeneutika dapat diaplikasikan
dalam Ilmu Tafsir, bahkan dapat memperkuat metode penafsiran al-Qur’an. Ada
empat argumen yang ia kemukakan sebagai berikut: pertama,
secara terminologi, hermeneutika (dalam arti ilmu tentang “seni menafsirkan”)
dan ilmu Tafsir pada dasarnya tidaklah berbeda dalam hal bahwa keduanya
mengajarkan kepada kita bagaimana kita memahami dan menfasirkan teks secara
benar dan cermat. Kedua, yang membedakan antara keduanya, selain sejarah
kemunculannya, adalah ruang lingkup dan obyek pembahasannya: hermeneutika,
sebagaimana yang diungkapkan diatas, mencakup seluruh obyek penelitian dalam
ilmu sosial dan humaniora (termasuk di dalamnya bahasa dan teks), semetara ilmu
tafsir hanya berkaitan dengan teks. Teks sebagai obyek merupakan diantara
hal-hal yang mempersatukan antara hermeneutika dan ilmu tafsir.
Ketiga, memang benar bahwa obyek utama ilmu
tafsir adalah teks al-Qur’an, sementara obyek utama hermeneutika pada awalnya
adalah teks Bibel, dimana proses pewahyuan kedua kitab suci ini berbeda. Dalam
hal ini, mungkin orang mempertanyakan dan meragukan ketepatan penerapan
hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an dan begitu pula sebaliknya. Keraguan
ini bisa diatasi dengan argumen bahwa meskipun al-Qur’an diyakini oleh sebgaian
besar umat Islam sebgai wahyu Allah secara verbatin, sementara bibel diyakini umat kristiani sebagai wahyu tuhan dalam
bentuk inspirasi, namun bahasa yang digunakan untuk mengomunikasikan pesan
ilahi kepada manusia adalah bahasa manusia yang bisa diteliti baik melalui
hermeneutika mapun ilmu tafsir. Keempat, setelah menelaah teori-teori hermeneutika
gradamer, saya berkeyakinan bahwa teori-teori tersebut dapat memperkuat
konsep-konsep metodis yang selama ini telah ada dalam ilmu tafsir.[26]
Demikianlah
beberapa pandangan ulama/ cendekiawan tentang hermeneutika dalam studi
al-Qur’an. Dari ketiga kelompok diatas, kiranya argumen yang lebih kuat adalah
ada pada kelompok ketiga, sebab hermeneutika adalah metode baru yang tidak
sepenuhnya buruk dan tidak tepat untuk mengkaji al-Qur’an, selama spirit yang
ingin digagas dengan metode ini adalah demi menampakkan wajah al-Qur’an yang
selalu dinamis dan mampu menjawab tantangan modenitas dan tetap
mempertimbangkan hasil karya ahli Tafsir klasik. Selain itu juga sebagai
pengejawentahan dari kaidah “
al mukhafadah ‘ala al-qadim as-shalih wa al-akhdu fi al-jadid al-aslah” (menjaga yang lama yang baik, dan mengambil yang baru
yang lebih baik).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada dasarnya
hermeneutika bukanlah metode penafsiran yang harus ditolak mentah-mentah dan
begitu juga sebaliknya, diterima begitu saja tanpa ada pemilahan
teori hermeneutika mana yang lebih tepat dan mana yang menyimpang menurut
standar kaidah ilmu Tafsir.
Kaidah yang masyhur
dengan bunyi: “menjaga yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang
lebih baik”, ini tentu patut direnungkan bagi para ulama/ dan sarjana
khususnya yang berkopeten dalam bidang tafsir. Mempertahankan yang klasik
hingga tidak ada ruang bagi yang baru untuk masuk, tentu bertolak belakang
dengan kaidah yang masyhur tersebut. Terlebih bersikap arogan terhadap gagasan
yang berbeda, baru dan belakangan dengan memonjolkan emosi belaka bukanlah
sikap yang diajarkan dalam tradisi keilmuan era ulama klasik. tentunya,
semua upaya yang dilakukan dalam perbedaan pandangan ini harus berangkat dari
niat yang benar, yaitu demi menegakkan kalimat Allah swt dan merajut kembali
benang-benang persatuan umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zayd, Nashr Hamid, Al-Qur’an, Hermeneutika
dan Kekuasaan:Kontroversi dan Penggugat Hermeneutika Al-Qur’an, cet. ke-1,
Bandung: Risearch For Quranic Studies (RQiS), 2003.
Khamdan Dkk, Studi Al-Qur’an: Teori Dan
Metodologi, cet. ke-1, Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2011.
Latief Hilman, Nasr Hamid Abu Zaid:
Kritik Teks Keagamaan, cet. I, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003.
Palmer, Richard E, Hermeneutika: Teori Baru
Mengenai Intepretasi, cet. ke-2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Saenong, Ilham B., Hermeneutika Pembebasan:
Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, cet. ke-1, Jakarta:
Penerbit TERAJU, 2002.
Setiawan, M. Nur Kholis Dkk, Upaya Integrasi
Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), cet. ke-2,
Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011.
Syamsuddin, Sahiron, Hermeneutika dan
Pengembangan Ulumul Qur’an, cet. ke-1, Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press,
2009.
Wijaya, Aksin, Arah Baru Ulum Al-Qur’an:
Memburu Pesan Tuhan di balik Fenomena Budaya, cet. ke-1, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Sholeh, Achmad Kudhori, artikel, ditulis
dalam website: http://tsaqafah.isid.gontor.ac.id/volume-vii-1/membandingkanhermeneutika-dengan-ilmu-tafsir
html, diakses tanggal 04 Januari 2013 Jam 10:47 wib.
[1] Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Quran, Hermeneutik dan Kekuasaan : Kontroversi dan Penggugat
Hermeneutika al-Qur’an, ( Bandung: RQiS, 2003), cet. I hlm 7.
[3] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan
Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press,
2009), Cet. I, hlm. 5.
[5] Richard E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005), Penerj: Musnur Hery dan Damanhuri
Muhammed, cet. II, hlm. 14.
[7] Khamdan dkk, Studi Al-Qur’an: Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2011), cet.I hlm.166.
[10] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut Hasan Hanafi, ( Jakarta: Penerbit TERAJU, 2002), cet I. hlm. 26.
[15] Achmad Kudhori Soleh, artikel, ditulis dalam website: http://tsaqafah.isid.gontor.ac.id/volume-vii-1/membandingkan-hermeneutika-dengan-ilmu-tafsir
html, diakses tanggal 04 Januari 2013 jam 10:47 wib.
[17] Achmad Kudhori Soleh, artikel............. ibid., diakses tanggal 04 Januari 2013 jam 10:47 wib.
[18] Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), cet. I hlm. 144-145.
[22] Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum
Al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet.
I, hlm.176
[23] M. Nur Kholis Setiawan dkk, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Al-Qur’an dan Hadis (Teori Dan
Aplikasi), (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2011), cet. II, hlm. 23
[26] M. Nur Kholis Setiawan dkk, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Al-Qu’an..... ibid., hlm. 42-43.
No comments:
Post a Comment