AL-JARH
WA AT-TA’DIL DAN TARIKH AR-RUWAH
BAB I
PENDAHULUAN
Studi hadis tidak bisa dilepaskan dengan
masalah-masalah yang terkait dengan ilmu hadis. Sejak fase awal dikodifikasikannya
hadis hingga pada perkembangan berikutnya telah banyak karya-karya ulama hadis
yang mengkaji tentang hadis dalam berbagai perspektif. Salah satu kajian yang
selalu dibicarakan oleh kalangan ahli hadis sejak dulu hingga sekarang adalah seputar ilmu hadis. Secara garis
besar, ulama mutaakhirin membagi kajian ilmu hadis menjadi dua pokok bagian
yaitu: 1) ilmu hadis Riwayah, 2)
ilmu hadis Dirayah. Dari Kedua disiplin ilmu ini memunculkan beragam cabang
ilmu hadis antara lain: a) ilmu rijalul hadis, b)ilmu al-jarh wa- ta’dil, b)
ilmu tarikh ar-ruwah, c) ilmu i’lal hadis, d) ilmu al nasikh wa al mansukh, e)
ilmu asbab al wurud al hadis, F) ilmu mukhtalif al-hadis. Munculnya beragam
ilmu ini tidak lepas dari upaya untuk memantapkan otentisitas hadis itu sendiri
sehingga manfaatnya dapat kita rasakan. Buktinya adalah kita masih dapat
menemukan sumber pokok keislaman hingga detik ini, Selain itu ilmu hadis terus dikaji hingga abad
modern.
Dari beberapa cabang kajian ilmu hadis diatas,
penulis berasumsi bahwa tidak semua kalangan dapat memahami kajian secara
mendalam, disebabkan karena sangat rumitnya masalah ilmu hadis ini hingga hanya
kalangan pemerhati hadis atau yang populer disebut muhaddis saja yang mampu mengkaji lebih dalam dan komprehenship.
Namun tidak menutup harapan, bahwa sebagai penerus estafet keilmuan para ulama,
dan juga sebagai pemeluk islam, kita dituntut untuk mempelajari salah satu
sumber pokok keber-agamaan kita yaitu Al Hadis sesuai batas kemampuan kita.
Untuk mempelajari seluruh kajian ilmu hadis ini
tentu membutuhkan banyak tenaga waktu dan pikiran. Karena itulah dalam
kesempatan ini, penulis akan mencoba mengkaji dua cabang ilmu hadis yaitu
tentang ilmu al-jarh wa ta’dil dan ilmu tarikh
ar-ruwah: bagaimana konsep, urgensi, obyek kajian, metode dan
contoh-contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
1. Pengertian Ilmu Al
Jarh Wa At-Ta’dil
Kalimat
al-jarh wa at-ta’dil merupakan
gabungan antara dua kata yang memiliki makna satu kesatuan pengertian. Dua kata
tersebut adalah al-jarh dan at-ta’dil. Secara etimologis arti al-jarh bentuk masdar dari kata جرح-يجرح-جرحا yang
berarti melukai, melukai perasaan.[1]
Secara
terminologi, al-jarh berarti
munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau
mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur
riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya.[2]
Adapun istilah at-tajrih yaitu menyifati seorang perawi
dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi lemah atas riwayatnya atau tidak
diterima.[3]
Para ahli hadis mendefinisikan al jarh
dengan:
الطعن في راوى الحديث بما يسلب أو يحل بعدالته أو ضبته
“Kecacatan pada perawi hadis
disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi”.[4]
jarh secara istilah dapat juga
diartikan tersifatinya seorang rawi dengan sifat-sifat tercela, seperti
kadzdzab, su’ al-hifzh, mukhtalath, ghair ma’mun, dan lain-lain, sehingga
tertolak riwayatnya.[5]
Sedangkan al-ta’dil secara bahasa adalah dari akar
kata تعديل-يعدل -عدل
berarti meluruskan atau menyamakan.[6]
Secara
terminologi at-ta’dil adalah:
عكسه هو تزكية الراوي و الحكم عليه بأنه عدل أو ضابط
lawan" dari al-jarh, yaitu pembersihan atau penyucian perawi dan ketetapan,
bahwa ia adil atau dabit”.[7]
Dengan
demikian, ilmu al-jarh wa ta’dil
berarti:
العلم الذي يبحث في احوال الرواة من حيث قبول رواياتهم
أو ردها
“Ilmu yang membahas hal ikhwal
para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka”.[8]
Ulama lain mendefinisikan al-jarh dan at-ta’dil
dalam satu definisi, yaitu:
علم يبحث عن الرواة من حيث م ورد في شأنهم مما يشنيهم أو
يزكيهم بألفاظ مخصوصة
“Ilmu
yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan
keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan
ungkapan atau lafadz tertentu”.[9]
Ilmu al-jarh
wa at-ta’dil juga dapat diartikan ilmu yang membahas hal ihwal rawi
dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian
periwayatannya dapat diterima atau di tolak.[10]
Berdasarkan
pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli, dapat dipahami bahwa ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan cabang
ilmu hadis yang mengkaji hal-hal yang menyangkut pada diri perawi baik berupa
cacat atau adilnya seorang perawi yang sangat berpengaruh terhadap kualitas
hadis yang diriwayatkannya. Ilmu al-jarh
wa at-ta’dil ini bisa diartikan sebagai ilmu untuk menetapkan periwayatan
seorang perawi apakah bisa di terima atau ditolak melalui hasil jarh
dan ta’dil dari para ahli hadis.
2.
Urgensi Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa
at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu
dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai
oleh para ahli sebagai seorang perawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak,
dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya
periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis
dipenuhi.[11]
Sikap itu dilakukan sebab telah banyak campur aduk
antara hadis palsu dan hadis yang benar-benar dari Rasulullah SAW. Hal itu
terjadi karena sejarah panjang sejak masa Nabi Saw hingga hadis harus
dikodifikasi secara utuh. Kemurnian hadis perlu mendapatkan penelitian secara
teliti karena adanya pertikaian politik, masalah ekonomi dan masalah-masalah
lainnya yang berkaitan dengan hadis, Sehingga ada sebagian golongan yang dengan
sengaja meriwayatkan hadis yang disandarkan oleh Rasulullah Saw, padahal
riwayat mereka adalah riwayat palsu atau bohong yang mereka buat demi
kepentingan golongannya.
3.
Metode Untuk Mengetahui Keadilan dan Kecacatan Rawi
·
Cara mengetahui
keadilan atau kecacatan rawi
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah
satu dari dua ketetapan:
Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa
ia dikenal sebagai seorang yang adil (Bisy-Syuhrah).
Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu bagi Anas
bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’i, Ahmad bin
Hambal dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka sudah terkenal sebagai orang
yang adil di kalangan para ahli ilmu sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi
tentang keadilannya.
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah),
yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi
yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah
ini dapat dilakukan oleh:
a. Seorang
rawi yang adil. jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan
sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk menerima riwayat hadis.
b. Setiap
orang yang dapat diterima periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan,
orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat
mengadilkannya.
Penetapan kecacatan
seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu:
a. Berdasarkan
berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal
sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi
dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan
kecacatannya.
b. Berdasarkan
pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab
dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin, sedangkan menurut para
fuqaha, sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.[12]
Masalah
penilaian terhadap rawi yang dapat menjadikan si rawi adil atau cacat cukup
rumit, sebab ternyata dikalangan para ahli hadis sendiri terjadi perbedaan
pendapat. Sebagian ulama men-ta’dil-kan seorang rawi, namun ada juga
yang men-tajrih-kannya. Karena itulah harus ada yang menyetujuinya
secara kolektif.
·
Syarat-Syarat
Bagi Pen-Tajrih (Jarih) dan
Pen-Ta’dil (Mu’addil ) bagi Rawi
Berikut
ini syarat-syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan dan orang yang men-tajrih-kan,
yaitu[13]:
1. Berilmu
pengetahuan
2. Takwa
3. Wara’
(orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan
makruhat-makruhat).
4. Jujur,
5. Menjauhi
fanatik golongan
6. Mengetahui
sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
·
Lafad-lafad al-jarh
wa at-ta’dil
Lafadz-lafadz
yang digunakan untuk men-tarjih dan men-ta’dil itu bertingkat. Beberapa
ulama berbeda pendapat soal tingkatan-tingkatan lafad-lafad tersebut. Ibnu
Hajar menyusun tingkatan lafad menjadi 6 tingkatan, yaitu:
Tingkatan
pertama, segala sesuatu yang
mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafadz-lafadz yang
af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenis:
أوثق الناس
|
= Orang
yang paling Tsiqah, orang yang paling kuat hafalannya.
|
أثبت الناس حفظا و عدالة
|
= Orang yang paling mantap hapalan
dan keadilan.
|
إليه المنتهى فى الثبت
|
= Orang yang paling menonjol keteguhan
hatinya dan akidahnya.
|
ثقة فوق ثقت
|
= Orang yang Tsiqah melebihi
orang tsiqah.
|
Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an
rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya,
baik sifatnya yang dihubungkan itu selafadz (dengan diulang-ulang) atau
semakna, misalnya:
ثبت ثبت
|
= Orang yang teguh (lagi) teguh.
|
ثقة ثقة
|
= Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah,
yaitu orang yang sangat dipercaya.
|
حجة حجة
|
=Orang yang ahli (lagi) petah
lidahnya.
|
ثبت ثقة
|
= Orang yang teguh (lagi) tsiqah,
yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat hapalannya.
|
ضابط متقن
|
= Orang yang kuat ingatan (lagi)
meyakinkan ilmunya.
|
Tingkatan ketiga,
menunjukkan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti “kuat ingatan”,
misalnya:
ثبت
|
= Orang yang teguh (hati-hati
lidahnya)
|
متقن
|
= Orang yang meyakinkan ilmunya
|
ثقة
|
= Orang yang tsiqah
|
حافظ
|
= Orang yang hafidz (kuat
hapalannya)
|
حجة
|
= Orang yang petah lidahnya
|
Tingkatan keempat,
menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafadz yang tidak
mengandung arti “kuat ingatan dan adil (tsiqah), misalnya:
صدوق
|
= Orang yang sangat jujur
|
مأمون
|
= Orang yang dapat memegang amanat
|
لابأس به
|
= Orang yang tidak cacat
|
Tingkatan kelima,
menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabit-an,
misalnya:
محلة الصدق
|
= Orang yang berstatus jujur
|
جيد الحديث
|
= Orang yang baik hadisnya
|
حسن الحديث
|
= Orang yang bagus hadisnya
|
Tingkatan keenam,
menunjukkan arti “mendekati cacat”. seperti sifat-sifat tersebut di atas yang
diikuti dengan lafadz “Insya Allah”, atau lafadz tersebut di-tashir-kan
(pengecilan arti), atau lafadz itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misal:
صدوق أنشاء الله
|
= Orang yang jujur Insya Allah
|
فلان أرجو بأن لابأس به
|
= Orang yang diharapkan tsiqah
|
فلان صويلح
|
= Orang yang sedikit kesalehannya.
|
فلان مقبول حديثه
|
= Orang yang diterima
hadis-hadisnya.
|
Para ahli ilmu
mempergunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan
menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun
hadis-hadis perawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan
keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh
hadis periwayatan lain.[14]
Kemudian, tingkatan dan lafadz-lafadz
untuk men-tajrih rawi-rawi yaitu: Tingkatan pertama, menunjuk
pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadz-lafadz yang
berbentuk af’alu al-tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian
sejenisnya, misalnya:
أوضع الناس
|
= Orang yang paling dusta
|
أكذب الناس
|
= Orang yang paling bohong
|
Tingkatan kedua, menunjukkan
sangat cacat dengan menggunakan lafadz-lafadz berbentuk Sighat Muballaghah,
misalnya:
كذاّب
|
= Orang yang pembohong
|
وضّاع
|
= Orang yang pendusta
|
Tingkatan ketiga,
menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya, misalnya:
فلان متهم بالكذب
|
= Orang yang dituduh bohong
|
فلان ساقط
|
= Orang yang gugur
|
Tingkatan keempat,
menunjukkan sangat lemah, misalnya:
مطروح الحديث
|
= Orang yang dilempar hadisnya
|
فلان
مردود الحديث
|
= Orang yang ditolak hadisnya
|
Tingkatan kelima,
menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hapalannya, misalnya:
فلان مجهول
|
= Orang hyang tidak dikenal identitasnya
|
فلان
منكر الحديث
|
= Orang yang mungkar hadisnya
|
Tingkatan keenam, menyifati
rawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu
berdekatan dengan ‘adil, misalnya:
فلان ليس بالحجة
|
= Orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadisnya
|
فلان
ليس بالقوى
|
= Orang yang tidak kuat
|
Orang
yang ditarjih menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat, hadisnya
tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih-kan
menurut tingkatan kelima dan keenam, hadisnya masih dapat dipakai sebagai
i’tibar (tempat pembanding).
Untuk menerima pen-tajrih-an atau
pen-ta’dil-an, ada yang harus diperhatikan, yaitu apabila kita temui
sebagai ahli jarh dan ta’dil, dalam men-jarh seorang rawi,
kita tidak perlu segera menerima pen-tajrih-an tersebut, tetapi
hendaklah menyelidiki terlebih dahulu. Jika pen-tajrih-an itu membawa
kegoncangan yang hebat, kendati yang men-tajrih-kan adalah ulama-ulama
yang mashur, pen-tajrih-annya tersebut tidak boleh diterima. Sebab,
setelah kita adakan penelitian, terkadang-sebab-sebab yang digunakan untuk men-jarh-kannya
tidak kuat sehingga kita bisa menolak pen-jarh-annya.
4. Pertentangan Antara Al-Jarh dan At-Ta’dil
Terjadi pertentangan
antara para ulama mengenai sikap yang harus dilakukan ketika terjadi perbedaan
dalam menilai seorang perawi sebagai apakah dia di-tajrih atau di-ta’dil.
terkadang, dalam menilai seorang perawi, para ulama ada yang men-tajrih perawi,
ada pula yang men-ta’dil-kannya. karena sama-sama mempunyai otoritas untuk
melakukan penilaian tersebut.
Dalam masalah ini, para
ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut[15]:
a. Al-jarh harus didahulukan
secara mutlak, walaupun jumlah mu’adil-nya lebih banyak daripada
jarh-nya. Sebab, Jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak
diketahui oleh mu’adil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’adil
tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan
urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu’adil. Inilah pendapat
yang dipegang oleh mayoritas ulama.
b. Ta’dil didahulukan daripada
jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena banyaknya yang
men-ta’dil-kan bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurtut
‘Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang men-ta’dil
meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah
pernyataan yang men-tajrih.
c. Bila
jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan,
kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaaan
dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat antara keduanya.
d. Tetap
dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tajrih-kan.
Demikianlah perdebatan para ulama dalam
menegaskan mana yang harus diutamakan dalam masalah diatas. memang masalah ini
cukup rumit dan sangat membutuhkan kecermatan sekaligus ketetapan secara
mayoritas ulama, bukan atas dasar individu. sebab jika demikian, tentu
perbedaan diatas akan selalu muncul kapan pun selama ulama tidak bisa
bersepakat dalam menyikapi pertentangan tersebut.
B. Tarikh Ar-Ruwakh
Secara
bahasa yaitu dari kata تاريخ
artinya sejarah, tanggal, waktu. Dan الرواة bentuk jamak dari kata الراوي artinya tukang cerita, atau pembawa cerita[16]. Secara
istilah Dr. Mahmud Tahhan menjelaskan “yaitu pengertian tentang sejarah
kelahiran rawi, pemerolehan riwayat dari para syaikh, pencarian hadis ke
berbagai kota dan wafatnya rawi”.[17]
Ilmu Tarikh
Ar-Ruwakh ini merupakan ilmu untuk mengetahui para perawi hadis yang
berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadis.
Sebagian ulama masih berselisih pendapat mengenai
cabang ilmu ini. Ada yang mengatakan bahwa ilmu Tarikh Ar-Ruwakh ini
termasuk bagian dari ilmu Rijal Al-Hadis. Ada juga yang menganggap sama.
Adapun definisi ilmu Rijal Al-Hadis sendiri adalah ilmu yang mengkaji
keadaan para rawi hadis dan perikehidupan mereka, baik dari kalangan sahabat,
tabi’in, maupun tabi’it tabiin dan generasi sesudahnya.[18] Bagian
dari ilmu rijal al-hadis adalah ilmu tarikh rijal al-hadis. ilmu ini
secara khusus membahas perihal para rawi hadis dengan penekanan pada
aspek-aspek tanggal kelahiran, nasab atau garis keturuan, guru sumber hadis,
jumlah hadis yang diriwayatkan dan murid-muridnya.[19]
Tujuan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah:
Ilmu ini bertujuan untuk mengetahui keadaan dan
identitas para rawi hadis mulai dari kelahiranya, wafatnya, guru-gurunya,
masa/waktu mereka mendengar hadis dari gurunya, siapa yang meriwayatkan hadis
darinya dll. Ilmu ini penting untuk
melacak keberadaan perawi hadis sehingga jelas statusnya apakah ia termasuk
perawi yang diterima periwayatnnya atau ditolak sebab latarbelakang
kehidupannya yang telah lalu. Pendapat lain mengatakan “…..termasuk
tujuannnya adalah untuk mengetahui bersambung atau terputus sanadnya[20]. Berikut
contoh tentang aplikasi ilmu tarikh ar-ruwakh:
“ ‘Ufair Ibn Ma’dan dan Al-Killa’iy bercerita: “ Umar
ibn Musa pernah datang kepadaku, lalu kutemui dia di masjid dan seraya ia berkata: “telah bercerita kepada kami guru
kamu yang salih”. Ketika ia telah banyak bercerita, lalu kupotong ceritanya,
“siapa yang kamu maksud guru kamu yang salih itu? sebutlah namanya agar kamu
mengetahui!”, jawabnya: “ yaitu Khalid ibn Ma’dan”. “Tahun berapa kamu bertemu
dengan dia?”, tanyaku. “ aku bertemu tahun 108 H”, jawabnya. “Dimana kamu
bertemu?”, tanyaku lagi. “Aku bertemu dengan dia pada waktu perang Armenia” ,
jawabnya. Aku membentak: “Takutlah kepada Allah hai saudara, janganlah kau
berdusta”. Bukankah Khalid ibn Ma’dan itu wafat tahun 108 H? sedangkan kamu
mengatakan bahwa kamu bertemu dengan dia empat tahun sesudah dia meninggal. Dia
juga tidak pernah mengikuti perang Armenia sama sekali, dia hanya ikut perang
romawi saja.[21]
Contoh diatas Jelas, bahwa mengetahui tanggal lahir
dan wafatnya juga penting untuk menolak pengakuan seorang rawi yang mengaku-aku
pernah bertemu dengan perawi tertentu.
Berikut
ini contoh-contoh data sejarah dalam Tarikh ar-Ruwah[22]:
Ø Yang
shahih tentang umur Nabi Muhammad saw dan kedua sahabat; Abu Bakar dan Umar
adalah 63 tahun.
Ø Rasulullah
dipanggil Allah pada waktu Dhuha hari Senin tanggal 12 rabi’ul awal tahun 11 H.
Ø Sedangkan
abu bakar meninggal pada bulan Jumadil Awal tahun 13 H.
Ø Umar
meninggal dunia pada bulan Dzulhijjah tahun 23 H.
Ø Utsman
meninggal terbunuh pada bulan Dzulhijah tahun 35 H. berusia 82 tahun dan ada
yang mengatakan 90 tahun.
Ø Ali
terbunuh pada bulan Ramadhan tahun 40 H. berusia 63 tahun.
Ø Dua
sahabat yang hidup selama enam puluh tahun semasa jahiliyah dan enam puluh
tahun pada masa islam dan meninggal dunia di kota madinah tahun 54 keduanya
adalah Hakim bin Hizam dan Hasan bin Tsabith.
Ø Pendiri
mazhab-mazhab yang mempunyai pengikut serta tahun lahir dan wafatnya:
a. An-Nu’man
bin Stabit (Abu Hanifah) 80-150 H
b. Malik
bin Anas 93-179 H
c. Muhammad
bin Idris Asy-Syafi’i 150-204 H
d. Ahmad
bin Hambal 164-241H
Ø Pemilik
kitab-kitab hadist induk serta tahun lahir dan wafatnya:
a. Muhammad
bin Ismail Al-Bukhari 194-256 H
b. Muslim
bin Al Hajjaj An-Naisaburi 204-261 H
c. Abu
Dawud As-Sijistany 202-275 H
d. Abu
Isa At-Tirmidzi 209-279 H
e. Ahmad
bin Syu’eb An-nasa’i 214-303 H
f. Ibnu
Majah (al-qaswiny) 207-275 H
Ø kitab-kitab
yang terkenal:
§ Al-Wafayat
karya Ibnu Zubr Muhammad bin Ubaidillah ar-Rib’i, ahli hadis Damaskus.
meninggal tahun 379 H. penyusun dua sunan.
§ pemberian
lampiran kitab terdahulu, antara lain adalah al-kitany kemudian al-akfany lalu
al-irady dan yang lainnya.
Diantara
kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini ialah al-Isti’ab fi
Ma’rifah al-ashab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 h), al-Isabah fi Tamyiz
as-Sahabah dan Tahdzib At-Tahdzib karya Ibnu Hajar Al-Asqalani,
serta Tahdzib Al-Kamal karya Abul Hajjaj Yusub Bin Az-Zakki Al- Mizzi
(w. 742 h).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
·
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan cabang
ilmu hadis yang mengkaji hal-hal yang menyangkut pada diri perawi baik berupa
cacat atau adilnya seorang perawi yang sangat berpengaruh terhadap kualitas
hadis yang diriwayatkannya. Ilmu al-jarh
wa at-ta’dil ini bisa diartikan sebagai ilmu untuk menetapkan periwayatan
seorang perawi apakah bisa di terima atau ditolak melalui hasil jarh
dan ta’dil dari para ahli hadis.
·
Ilmu al-jarh wa
at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu
dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai
oleh para ahli sebagai seorang perawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak,
dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya
periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis
dipenuhi.
·
Dalam tingkatan
aplikasi ilmu ini, ada dinamika yang muncul terkait dengan otoritas pen-jarh
maupun pen-ta’dil. juga para ulama berbeda pendapat mengenai standar
untuk menghukumi perawi sebagai yang di-jarh atau di-ta’dil.
·
Ilmu Tarikh ar-Ruwah
yaitu pengertian tentang sejarah kelahiran rawi, pemerolehan riwayat dari para
syaikh, pencarian hadis ke berbagai kota dan wafatnya rawi.
·
Ilmu Tarikh
ar-Ruwah penting untuk melacak kualitas rawi dilihat dari sejarahnya. dengan
meneliti sejarah rawi, maka keabsahan hadis dapat dipertanggungjawabkan.
setelah melalui pelacakan rawi, maka akan diketahui apakah periwayatan seorang
rawi syah atau ditolak.
DAFTAR
ISI
As-Shalih, Subhi. Ulum Al-Hadits Wa
Musthalahuhu, Penerjemah: Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993.
Abdurrahman, Muhammad Dkk. Metode
Kritik Hadis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Kholis, Nur. Pengantas
Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yogyakarta: Teras, 2008.
Suparta,
Munzier. Ilmu Hadis, Cet. VII. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
Shalahudin,
M. Agus Dkk. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.
Thahhan, Mahmud. Taisir Musthalah
Hadis, Penerjemah: Zainul Muttaqin. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
[1] A. Warson
Munawwir, Kamus Al Munawwir
Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 180
[5] M. Abdurrahman dkk, Metode Kritis Hadis, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), h. 56
[13] ibid, hlm. 162.
[14] ibid, hlm.166
[15] Ibid.
hlm. 163
[16]
Munir
Baalbaki dan Ruhi Baalbaki, Kamus Almaurid Arab-Inggris-Indonesia,
(Surabaya: Halim Jaya, 2006), hlm. 165 dan 392.
[17]
Mahmud Al-Tahhan, Taisir Musthalah Hadis, (
Beirut: Darul Tsaqafah Islamiyah), cet. VII hlm. 259.
[22] Mahmud Thahhan, Ibid., h. 259-260
izin minta ya bang...
ReplyDeleteSilahkan saja..,, jangan lupa camtukan sumber blognya ya..,,,
Delete