Tuesday, September 24, 2013

Lahirnya Ilmu Kalam & Mu'tazilah

Latarbelakang
Kemajuan Islam pada masa kejayaannya ditandai oleh, antara lain, pesatnya perkembangan pemikiran Islam, yang meliputi bidang-bidang : Teologi, Filsafat, dan Sufisme. Pemikiran para tokoh pemikir yang muncul ketika itu berhasil mewarnai corak keberagamaan umat Islam pada masanya, bahkan pengaruhnya tetap terasa sampai abad modern.[1] Salah satu tokoh berpengaruh dalam pemikiran adalah al-Ghazali (1085-1111 M), dia merupakan salah seorang pemikir yang muncul pada masa pasca puncak kemajuan Islam. Ia dapat dikategorikan pemikir yang menguasahi tiga bidang pemikiran yaitu teologi, filsafat dan sufisme. selain itu, masih banyak tokoh-tokoh penting dalam sejarah pemikiran keislaman dalam bidang kalam seperti Washil ibn Atha tokoh pendiri mu’tazilah, Abu Hasan al-Asy’ari pendiri golongan ahlus sunnah wal jamaah (Sunni) atau Asy’ariyah dan lain sebagainya.
Munculnya beragam aliran Teologi dalam Islam merupakan hasil dari persinggungan atau gesekan antara pemikir muslim masa awal Islam, dimana sejak masa Rasulullah SAW sudah ada bibit-bibit perdebatan seputar ketuhanan. Meskipun perdebatan itu tidak sampai menimbulkan kekacauan dalam diri umat Islam. Baru setelah terjadi peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman, umat Islam mulai merasakan pergolakan politik hingga akhirnya meluas hingga ke persoalan takdir dan perbuatan manusia apakah manusia itu dipaksa atau bebas perbuat.
Persoalan teologi Islam ini patut kita ketahui apa sebenarnya faktor yang melatarbelakangi munculnya berbagai faham teologi tersebut. Kemudian persoalan-persoalan apa saja yang diperdebatkan dalam masalah teologi Islam itu. selain itu juga golongan apa saja yang turut terlibat dalam persoalan teologi tersebut hingga masalahnya semakin rumit dan kompleks.

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Teologi
Secara bahasa, teologi terdiri theos yang artinya “tuhan”, dan logos, yang artinya “ilmu” (science, study, atau discourse). Jadi ilmu tentang ketuhanan, yaitu yang membicarakan dzat Tuhan dari segala seginya dan hubungannya dengan alam.[2] Definisi diatas menunjukkan bahwa arti teologi cukup luas, sehingga perlu ada batasan yang jelas. Karena itu untuk pembatasan lapangan dan penetapan arti kata “teologi” biasanya dibubuhi dengan kualifikasi tertentu seperti teologi Yahudi, teologi Kristen, teologi Katolik, teologi Lutheran, teologi Islam, bahkan dengan kualifikasi lebih terbatas lagi, teologi Apologetik (mempertahankan agama), teologi Sistematik, teologi Sejarah, dan sebagainya.[3]
Secara istilah, pengertian secara umum ialah: “the science which treats of the fact and phenomena of religion, and the relations between god and man”, atau ilmu yang membicarakan kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama dan membicarakan hubungan tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan maupun pemikiran murni, atau dengan jalan wahyu.[4] Kalau kita meninjau ilmu kalam sendiri, maka kita dapati lapangannya sama dengan lapangan-lapangan teologi yang disebutkan tadi, yaitu sekitar tuhan, ada-nya, ke-esaanya, sifat-sifat-nya dari segala segi dan hubungan tuhan dengan manusia dan alam, berupa keadilan dan kebijaksanaan, pengutusan rasul-rasul sebagai penghubung antara tuhan dan manusia dan soal-soal yang bertalian dengan kehidupan di sana. Sudah barang tentu ilmu yang membicarakan lapangan-lapangan tersebut bisa dinamakan “teologi”, hanya karena pembicaraan tersebut didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran agama Islam, maka dinamakan teologi Islam”.[5]
Dalam kajian teologi Islam tentu yang dimaksud adalah ilmu kalam atau juga disebut ilmu tauhid. Sahilun menjelaskan definisi ilmu Kalam mengutip pendapat Muhammad Abduh sebagai berikut[6]:
a.       Menurut Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905) Ilmu Tauhid juga disebut ilmu kalam, memberikan ta’rif sebagai berikut:
التوحيد علم يبحث فيه عن وجود الله و ما يجب ان يثبت له من صفات, و ما يجوز أن يوصف به و ما يجب أن ينفى عنه, و عن الرسل لإثبات رسالتهم و ما يجب أن يكونوا عليه, و ما يجوز أن ينسب إليهم و ما يمتنع أن يلحق بهم.
“ Tauhid ialah ilmu yang membahas tentang wujud Allah tentang sifat-sifat yang wajib tetap bagi-nya, sifat-sifat yang jaiz disifatkan kepada-nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali yang wajib ditiadakan (mustahil) daripada-nya. Juga membahas tentang rasul-rasul allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib pada dirinya, hal-hal yang jaiz dihubungkan (dinisbatkan) pada diri mereka dan hal-hal yang terlarang (mustahil) menghubungkannya kepada diri mereka”.
b.      Ibnu Khaldun menjelaskan[7]:
“Ia adalah ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan akidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dalam dogma yang dianut kaum muslimin pertama dan ortodoksi muslim, ahlus-sunnah.
Secara umum dapat dipahami bahwa ilmu kalam mengkaji seputar kepercayaan iman yang didukung dengan dalil-dalil yang kuat guna membantah mereka yang menyimpang dari prinsip-prnsip tauhid yaitu meng-Esakan Allah.


B.     Pembahasan Ilmu Kalam Menurut Mutakalimin
Para mutakallimin mempunyai ciri khusus dalam membahas ilmu kalam, yang berbeda dengan ulama-ulama yang lain. Ahmad amin (dalam Sahilun: 2012) menjelaskan:
Bahwa sesungguhnya mutakallimin mempunyai sistem tersendiri di dalam membahas, menetapkan dan berdalil, berbeda dengan sistem al-Quran dan al-Hadis serta fatwa-fatwa sahabat. Dari segi lain, berbeda dengan sistem filsafat dalam membahas, menetapkan dan berdalil. Sistem mereka berbeda dengan sistem orang-orang sebelumnya dan sesudahnya. Untuk itu akan kami jelaskan secara ringkas. Adapun perbedaan mereka dengan sistem al-Quran ialah karena al-Quran itu mendasarkan seruannya, berpegang pada fitrah manusia. Hampir setiap manusia, dengan fitrahnya mengakui adanya Tuhan, Tuhan yang menciptakan dan mengatur alam. Hampir setiap manusia dengan fitrahnya sepakat terhadap hal tersebut, sekalipun berbeda  menamakan Tuhan itu dan menyebutkan sifat-sifat nya. Yang demikian itu baik bagi bangsa yang masih bersahaja (primitif) sampai kepada yang telah maju kebudayaannya”.
Allah Swt berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],”[8]. (AR-Rum: 30)
Dalam menunjukkan dalil, al-Quran selalu menggugah fitrah manusia atau seluruhnya memperhatikan struktur alam dengan segala keindahannya, dimana alam ini merupakan dalil tentang wujud Allah swt. Firman Allah:
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, Tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan Amat lemah (pulalah) yang disembah.”  (al-haj: 73)
Meskipun mutakallimin menggunakan akal untuk mencari Tuhan, tetapi mereka tidak puas, karena ada hal-hal yang di luar jangkauan kekuasaan akal, yaitu masalah dogma-dogma itu tidak dihukumi oleh akal. Kalau dogma itu sudah dihukumi oleh akal, maka rahasia dogma itu menjadi tidak rahasia lagi. Dogma itu akan menjadi lumpuh, karena bertentangan dengan akal, sebab akal manusia akan mencari Tuhan dengan jalan memperhatikan alam semesta.[9]
Dalam al-Quran ada ayat-ayat mutasyabihat[10], yaitu ayat-ayat yang arti lahirnya Tuhan itu seperti makhluk-nya (subhanahu wa ta’ala). seperti ayat-ayat yang menerangkan tentang determinisme (ijbary) dan indeterminisme (ikhtiary), tentang wajah Allah Swt, cahayaNYA, tangan-NYA, Dia berada di langit dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut telah menjadi bahan perdebatan di kalangan mutakalimin (Teolog Islam) baik yang pro dan kontra. Diantara ayat-ayat mutasyabihat ialah:
@è% `©9 !$uZu;ÅÁムžwÎ) $tB |=tFŸ2 ª!$# $uZs9 uqèd $uZ9s9öqtB 4 n?tãur «!$# È@ž2uqtGuŠù=sù šcqãZÏB÷sßJø9$# ÇÎÊÈ  
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS: At-Taubat: 51)
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ̍øBr& «!$# 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ  
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767][11]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768][12] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS: Ar-Ra’d: 11)
4s+ö7tƒur çmô_ur y7În/u rèŒ È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ  
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”  (QS: Ar-Rahman: 27).
ßtƒ......” «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& .....  ÇÊÉÈ  
“................tangan Allah di atas tangan mereka[1397]...........(QS: Fath:10)
* ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 ÇÌÎÈ.............  
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi........” (QS: An-Nur:35)
ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ  
 “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy[913].[13]  (QS: Thaha: 5)
Dalam merespon ayat-ayat mutasyabihat diatas, ternyata muncul beragam pandangan yang berbeda-beda. Masing-masing berpegang teguh dengan alasannya yang dianggap benar. Beberapa pandangan tersebut antara lain yaitu[14]: Pertama, Golongan Salaf, mempercayai sepenuhnya kepada nash-nash mutasyabihat, tetapi mereka menyerahkan maksud yang sebenarnya kepada Allah Swt. Mereka tidak mengadakan ta’wil mengenai ayat dalam surat Al Fath ayat 10: Yang artinya: “Tangan Allah itu diatas tangan-tangan mereka”(al-Fath:10). Mereka percaya pada يَدُ اللهِ (tangan Allah SWT), tetapi keadaannya berbeda dengan tangan manusia. Maksud yang sebenarnya mereka serahkan sepenuhnya kepada Allah Swt.
Kedua, Mu’attilah; berpendapat bahwa kalimat-kalimat yang mengandung sifat-sifat Allah Swt, yang tampaknya serupa dengan sifat-sifat makhluknya yang terdapat pada nash-nash mutasyabihat, harus dinafikan (ditiadakan) dari Allah Swt bersifat semacam itu. Agar dengan demikian orang dapat dengan sungguh-sungguh mentaqdiskan atau menyucikan Allah Swt dari serupa dengan makhluknya. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah (1263-1328) menerangkan: “Mereka (golongan mu’attilah) menafikan sifat-sifat Allah Swt. Mereka beranggapan bahwa Allah tidak mendengar, tidak berfirman, tidak melihat. Karena yang demikian itu tidak bisa terjadi, melainkan dengan anggota badan. Atas anggapan ini, mereka menafikan madlulnya nash-nash mutasyabihat dan menghapuskan makna-makna dari segala segi”. Golongan Mu’attilah ini timbul pada akhir pemerintahan Bani Umayah, dipimpin oleh Jaham bin Sofwan at-Turmudzi. Dia mati dibunuh pada 128 H. Paham-pahamnya bercampur dengan paham-paham Ja’ad bin Dirham yang juga mati terbubuh pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
 Ketiga, Golongan Mujasssimah atau Musyabbihah. Golongan ini dipimpin Dawud al-Jawariby atau Hisyam bin Hakam ar-Rafidli. Mereka berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi SAW mengenai nash-nash mutasyabihat harus diartikan lahirnya (letterlijk) saja. Jadi Allah swt itu benar-benar mempunyai sifat-sifat seperti sifat-sifat makhluknya. Selanjutnya Ibnu Taimiyah menerangkan: “Golongan Mujassimah adalah golongan yang menentang golongan mu’attilah. Mereka menetapkan adanya sifat-sifat Allah. Hanya saja mereka menjadikan (menganggap) bahwa sifat-sifat Allah itu seperti sifat-sifat  makhluknya. Maka mereka berkata: Allah itu mempunyai tangan seperti tanganku ini dan pendengaran seperti pendengaranku. Maha Suci Allah
Swt., Maha Tinggi Allah Swt dan Maha Besar dari hal-hal yang mereka katakan”.
Keempat, Golongan Khalaf, mempercayai bahwa nash-nash mutasyabihat itu menerangkan tentang sifat-sifat Allah Swt, yang tampaknya menyerupai dengan makhluknya adalah kalimat-kalimat majaz. Oleh karena itu, harus dita’wilkan sesuai dengan sifat keagungan dan kesempurnaannya, seperti:
يد الله diartikan kekuasaan Alah swt وجه الله  diartikan Dzat Allah swt, من في السماء diartikan Dzat yang menguasahi langit.
Jika kita melihat pandangan masing-masing golongan, maka  disana terlihat bahwa kaum salaf tidak memberikan uraian dan bahasan seputar nash-nash mutasyabihat diatas. Mereka cenderung menjauhi untuk membahas persoalan yang memang dirasa sulit dan sangat rawan terhadap perdebatan. Mereka mempunyai alasan mengapa tidak ingin membahas nash-nash tersebut.  Sebab-sebab golongan salaf tidak mengadakan ta’wil itu ialah:[15] a) Pembahasan nash-nash mutasyabihat itu tidak memberi manfaat bagi orang awam. b) Segala yang berhubungan dengan dzat dan sifat Allah Swt adalah di luar akal yang tidak mungkin manusia dapat mencapai-nya kecuali dengan cara mengqiyaskan Allah swt pada sesuatu dan ini adalah kesalahan yang besar.
C.    Faktor-Faktor Munculnya Ilmu Kalam
Kita tidak akan memahami ilmu kalam secara utuh kalau tidak mempelajari faktor-faktor yang mendorong kemunculannya. Sebab ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri, belum dikenal pada masa Nabi SAW sendiri maupun pada masa sahabat. Adapun faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor dari dalam (internal), dan faktor dari luar (eksternal).
1.      Faktor Intern
Sahilun mengutip pendapat Ahmad Amin menyatakan tentang faktor intern munculnya ilmu kalam yaitu sebagai berikut[16]:
a.       “Sesungguhnya al-Qur’an itu sendiri di samping seruan dakwahnya kepada tauhid dan mempercayai kenabian, dan hal-hal yang berhubungan dengannya, juga menyinggung golongan-golongan dan agama-agama penting yang terbesar pada masa Nabi Muhammad Saw, lalu al-Qur’an menolaknya dan membatalkan pendapat-pendapatnya. Diriwayatkan, suatu kaum yang mengingkari kepercayaan-kepercayaan agama, ketuhanan, kenabian, dan mereka itu berkata: “tidaklah ada yang membinasakan kami, melainkan masa”. Dan al-Qur’an menolaknya dengan berbagai dalil dan menyinggung kemusyrikan yang bermacam-macam itu”.
b.      Ada orang-orang yang menuhankan Nabi Isa As. Hal ini ditolak berdasarkan ayat:
øŒÎ)ur tA$s% ª!$# Ó|¤ŠÏè»tƒ tûøó$# zNtƒótB |MRr&uä |Mù=è% Ĩ$¨Z=Ï9 ÎTräσªB$# uÍhGé&ur Èû÷üyg»s9Î) `ÏB Èbrߊ «!$# ( tA$s% y7oY»ysö6ß $tB ãbqä3tƒ þÍ< ÷br& tAqè%r& $tB }§øŠs9 Í< @d,ysÎ/ 4 bÎ) àMZä. ¼çmçFù=è% ôs)sù ¼çmtGôJÎ=tæ 4 ãNn=÷ès? $tB Îû ÓŤøÿtR Iwur ÞOn=ôãr& $tB Îû y7Å¡øÿtR 4 y7¨RÎ) |MRr& ãN»¯=tã É>qãäóø9$# ÇÊÊÏÈ  
“ Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?". Isa menjawab: "Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan Maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib".
c.       Disatu pihak ada ayat-ayat yang menunjukkan adanya paksaan (ijbar, predestinasi) dalam pemberian tugas di luar kemampuan manusia. Dalam firman Allah Swt:
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. íä!#uqy óOÎgøŠn=tæ öNßgs?öxRr&uä ÷Pr& öNs9 öNèdöÉZè? Ÿw tbqãZÏB÷sムÇÏÈ  
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.”
d.      Disatu pihak juga ada ayat-ayat yang menerangkan bahwa manusia bisa melakukan ikhtiar dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya (indeterministis). Firman Allah swt:
$tBur yìuZtB }¨$¨Z9$# br& (#þqãZÏB÷sムøŒÎ) æLèeuä!%y` #yßgø9$# HwÎ) br& (#þqä9$s% y]yèt/r& ª!$# #ZŽ|³o0 Zwqߧ ÇÒÍ  
“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali Perkataan mereka: "Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul?"
e.       Adanya masalah politik seputar khilafah. Semenjak wafatnya Rasulullah SAW, umat Islam Muhajirin dan Anshar berselisih pendapat seputar siapa pengganti khalifah setelah wafatnya Rasulullah SAW. Secara umum sistem kepemimpinan adalah masalah politik belaka. Agama tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk khilafah dengan cara tertentu. Tetapi agama hanya memberikan ketentuan supaya memperhatikan kepentingan umum. Namun pada faktanya, pada saat itu terjadi perselisihan yang cukup kuat antara kaum muhajirin dan anshar mengenai siapa pemimpin yang pantas mengganti Rasulullah SAW. Setelah itu, disusul dengan persitiwa terbunuhnya Utsman RA. Yang belum jelas siapa pembunuhnya hingga saat ini, sejak itulah kaum muslimin terpecah belah menjadi beberapa golongan, yang masing-masing merasa pihak yang benar dan hanya calon dari padanyalah yang berhak menduduki kursi khalifah.
Persitiwa terbunuhnya Utsman, menjadi titik tolak yang jelas dari permulaan berlarut-larutnya perselisihan bahkan peperangan diantara kaum muslimin sendiri. Sebab sejak saat itu timbullah orang yang menilai tentang perisitwa pembunuhan itu, disamping menilai amal perbuatan Utsman sendiri sewaktu hidupnya. Segolongan kecil mengatakan bahwa utsman dianggapnya salah kebijaksanaannya pada akhir masa jabatannya. Pihak lain mengatakan bahwa pembunuhan terhadap utsman itu adalah kejahatan besar dan pembunuhannya adalah kafir.
Kalau manusia itu sendiri sebagai sumber perbuatan, maka persoalannya sudah jelas. Akan tetapi kalau sumber perbuatan itu adalah Tuhan, manusia itu hanya sebagai pelaku semata-mata, maka keputusan manusia itu dosa atau kafir, hal itu masih belum jelas. Inilah yang menyebabkan timbulnya golongan Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyah yang membicarakan masalah Af’alul-‘Ibad atau perbuatan hamba, apakah manusia itu mempunyai kebebasan dalam berbuat atau dalam keadaan terpaksa dalam perbuatannya atau bagaimana.
2.      Faktor Eksternal
Adapun faktor-faktor dari luar, Sahilun mengutip pernyataan Ahmad Amin sebagai berikut:[17]
Pertama, “sesungguhnya, kebanyakan orang-orang yang memeluk Islam sesudah kemenangannya, semula mereka itu telah memeluk berbagai agama, yaitu Yahudi, Kristen, Manu, Zoroaster, Brahmana, Sabiah, Atheisme, dan lain lain. mereka dilahirkan dan disebarkan dalam ajaran-ajaran agama ini. Bahkan diantara mereka ada yang benar-benar memahami agama aslinya. Setelah pikiran mereka tenang dan tentram, dan sesudah memegang teguh agamanya yang baru, yaitu agama Islam, mulailah mereka memikirkan ajaran-ajaran yang terdahulu dan membangkitkan persoalan-persoalan dari persoalan agamanya serta diberinya dengan corak baju ke-Islaman.
Kedua, “sesungguhnya golongan Islam yang dahulu, terutama golongan mu’tazilah memusatkan perhatiannya yang terpenting adalah untuk dakwah Islam dan bantahan alasan orang-orang yang memusuhi Islam. Mereka tidak akan bisa menolak lawan-lawannya kecuali sesudah mereka mempelajari pendapat-pendapatnya serta alasan-alasannya. Maka akhirnya negeri Islam itu menjadi medan perdebatan bermacam-macam pendapat dan agama. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa perdebatan bisa membawa (menyebabkan) berpikir dan membangkitkan persoalan yang bisa mengajak memperhatikan persoalan tersebut. Dan masing-masing golongan terbawa untuk mengambil pendapat yang dianggapnya benar dari pendapat orang yang berbeda dengannya. Sebagian agama, terutama agama-agama Yahudi dan Kristen telah menggunakan senjata filsafat Yunani. Philon ( 25 SM- 50 M) seorang Yahudi pertama yang menfilsafatkan ajaran-ajaran Yahudi dan mempertemukannya dengan filsafat Yunani. Clemeus Von Alexandrian (lahir kira-kira tahun 150 M) dan Origen (185-254) adalah diantara orang yang pertama-tama mempertemukan agama Kristen dengan filsafat Neo Platonisme. Hal ini sudah barang tentu (mendorong) golongan mu’tazilah mempergunakan senjata yang dipakai lawannya (yaitu filsafat, pen) dengan masuknya filsafat Yunani ke dalam golongan mu’tazilah dan aliran-aliran golongan lainnya, semakin banyak perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sebagaimana telah kami contohkan sebelumnya. Hal itulah yang merupakan salah satu faktor penting timbulnya ilmu Kalam.
Ketiga, Ahmad Amin menerangkan: “Faktor ketiga ini merupakan kelanjutan faktor kedua, yaitu sesungguhnya kebutuhan para mutakalllimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan (mengimbangi, pen) musuh-musuhnya, mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama, maka mereka terpaksa mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil mafaat ilmu logika, terutama dari segi ketuhanan. Kita mengetahui An-Nazham (tokoh mu’tazilah, pen) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak beberapa pendapatnya. Demikian juga Abul Hudzail al ‘Allaf.”

D.    Golongan Mu’tazilah
Golongan mu’tazilah disebut kelompok Ahl al-Adl wa at-Tauhid, dan juga disebut Qadariyah atau ‘Adliyyah.[18] Perkataan mu’tazilah berasal dari kata i’tazala, artinya menyisihkan diri. Pendapat orang berbeda-beda tentang sebab-musabab timbulnya firqoh mu’tazilah itu. Dalam sejarah tercatat cikal bakal munculnya golongan mu’tazilah ini yaitu tentang halaqoh seorang tabi’in terkenal yang bernama Hasan al-Basri (w. 110H). Peristiwa memisahkan diri yang dilakukan Washil ibn Atha (w. 130 H) dari gurunya al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) di masjid kota Basrah dianggap sebagai awal lahirnya aliran mu’tazilah.
Washil seorang yang berotak cerdas telah berlaku lancang didepan gurunya, dengan memberi jawaban terhadap suatu pertanyaan yang diajukan orang kepada sang guru, sebelum gurunya menjawab tentang status seseorang mukmin yang memperbuat dosa besar itu, dijawab oleh washil bahwa dia tidak mukin tidak kafir, tetapi statusnya diantara kedua posisi tersebut atau “al-manzilat bayna al-manzilatayn”. Sang guru menjawab orang itu tergolongan munafiq, karena merasa pendapatnya benar dalam perbedaan pendapat ini. Maka washil pun memisahkan diri dari kelompok pengajian al-Hasan, gurunya,  ke salah satu ruangan dalam masjid yang sama, dan diikuti oleh sejumlah teman-temannya yang sepaham. Menanggapi peristiwa yang terjadi, sang guru pun berucap: “i’tazala anna washil” (washil telah memisahkan diri dari kita). Sejak saat itu, Washil ibn Atha dianggap sebagai pemuka golongan mu’tazilah.[19]
Ajaran-ajaran mu’tazilah mendapat dukungan dan penganut dari penguasa dari Bani Umayah, seperti khalifah Jazid bin Walid (125-126 H). sedangkan dari Bani Abbasiyah khalifah-khalifah yang mendukungnya yaitu: a) Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (198-218 H), b) khalifah al-Mu’tasim bin Harun al-Rasyid (218-227 H), c) al-Watsiq bin al-Mu’tashim (227-232 H). Dari dukungan dan simpati keempat khalifah tersebut, maka paham-paham mu’tazilah menjadi tersebar luas. Ulama-ulamanya yang terkenal yaitu[20]:
a.       Utsman al-Jahiz (w. 255 h), mengarang kitab al-Hiwan.
b.      Syarif radhi (w. 406 h), mengarang kitab majaz al-Qur’an.
c.       Abdul Jabbar bin Ahmad, lebih dikenal dengan Qadhil Qudhot, mengarang kitab Syarah Ushul al-Khamsah.
d.      Zamakhsyari (w. 528 h), mengarang kitab tafsir al-Kasysyaf.
e.       Ibnu Abil Haddad (w. 655 h), mengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah.
Orang-orang mu’tazilah giat mempelajari filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filsafat Plato dan Aristoteles. ilmu logika sangat menarik perhatiannya, karena menjunjung tinggi berpikir logis. Memang mu’tazilah lebih mengutamakan akal pikiran, dan sesudah itu baru al-Qur’an dan Hadis atau mendahulukan akal atas nas. Hal ini berbeda dengan golongan ahlus sunnah yang mendahulukan al-Qur’an dan Hadis, kemudian baru akal pikiran atau mendahulukan nas atas akal.[21] Ajaran-ajaran yang tampak bertentangan dengan akal pikiran, mu’tazilah, membuangnya jauh-jauh, sekalipun ada petunjuk dari nash. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi dengan roh dan jasad, kebangkitan manusia dari kubur (hasyrul ajsad) dianggapnya bertentangan dengan akal pikiran.
Mu’tazilah memiliki lima prinsip yang menjadi pedoman mereka. sebagaimana yang diterangkan oleh al-Khayyath, tokoh mu’tazilah pada abad III, dikutip oleh Sahilun:
“seseorang tidak berhak dinamakan Mu’tazilah, sehingga bersatu padanya lima pokok ajaran, yaitu Tauhid, Keadilan, janji dan ancaman, tempat diantara dua tempat (al-manzilah baina al-manzilatain), dan amar ma’ruf nahi mungkar. Apabila padanya telah sempurna kelima ajaran ini, dinamakan Mu’tazilah”.[22]
Pemikiran-pemikiran mu’tazilah cukup menggelitik para ulama pada waktu itu sebab terlalu menyandarkan diri pada akal rasional semata dan mengesampingkan nash-nash yang bertentangan dengan akal menurut mereka. Diantara pemikiran mereka yang cukup memberi pengaruh besar dalam sejarah pemikiran ketuhanan adalah, seperti apa yang diungkapkan oleh al-Syahrastani:[23]
“Kaum mu’tazilah mengatakan bahwa Allah itu Qadim, Qidam adalah sifat khusus bagi dzatNYA. Mereka mengatakan Allah Maha Mengetahui dengan dzatNYA, Allah Maha Hidup dengan zatNYA. Allah Maha Kuasa dengan zatNYA, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan, dan kehidupan, karena semua ini adalah sifat sedangkan sifat adalah sesuatu diluar zat. Karena kalau sifat berada pada zat yang qadim, sedang sifat qadim adalah sifat yang lebih khusus niscaya akan terjadi dualisme yakni zat dan sifat.”
Pendapat mereka cukup rasional, hal ini telihat dari analisis mereka dengan tetap berpegang teguh atas apa yang mereka yakini bahwa tidak ada dua zat yang sama sama Qadim sehingga keesaan Tuhan tetap terjaga menurut mereka.
Pemikiran lain yaitu mereka berbeda pendapat tentang status al-Qur’an, apakah al Quran itu qadim atau hadis. mereka berpandangan berbeda dengan sunni, dengan mengatakan bahwa al-Qur’an itu qadim atau makhluk, sebab sesuatu yang diciptakan.  Al-Syahrastani menjelaskan:[24]
“Kaum mu’tazilah berpendapat bahwa kalam Allah itu baharu yang ada pada zatnya karena kalam itu sendiri terdiri dari huruf, suara, dan tulisan mushaf dan dapat ditiru bunyinya. Karena itu, kalau sifat kalam sedemikian rupa maka sesuatu yang baharu yang dapat pada zat maka kalam yang seperti itu dapat hilang”.
Kaum mu’tazilah juga berpendirian bahwa melihat zat Allah di surga nanti adalah suatu yang mustahil, sebab tidak sesuai dengan akal rasional. Berikut ini al-Syahrastani menegaskan:[25]
“Mereka juga menolak kemungkinan melihat zat Allah dengan mata kepala pada hari akhirat karena menurutnya, apabila zat Allah dapat dilihat berarti zatnya sama dengan zat yang lain padahal zat Allah tidak berada pada arah tertentu, tidak mempunyai tempat, tidak berbentuk, tidak mempunyai rupa, tidak terdiri dari materi, tidak menempati ruang, tidak berpindah-pindah, tidak dapat dibilang, tidak berubah, dan tidak dipengaruhi. karena menurut mereka ayat-ayat yang mutasyabihat itu wajib ditakwilkan, pendirian yang seperti itu mereka namakan Tauhid.”  Mereka berdalil dengan nash al-Qur’an:
žw çmà2Íôè? ㍻|Áö/F{$# uqèdur à8Íôムt»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#Ïܯ=9$# 玍Î6sƒø:$# ÇÊÉÌÈ    
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.” (al-An’am ayat 103).

Mu’tazilah berpegang teguh dengan pendirinnya bahwa manusia itu bebas melakukan perbuatan (free will), tidak dipaksa. Sehingga menurut mereka Allah wajib memberikan pahala atas perbuatan baiknya dan wajib memberi siksa atas perbuatan maksiat yang diperbuat oleh manusia. Al-Syahrastani menegaskan:[26]
“mereka juga berpendapat bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya sendiri, entah perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Karena itu, manusia berhak memperoleh pahala dari apa yang diperbuatnya dan siksa di hari akhirat. Perbuatan baik dan buruk, kafir dan maksiat bukan termasuk perbuatan Allah, karena kalau dikatakan Allah yang menciptakan semuanya itu berarti Allah telah berlaku dzalim lantaran menciptakan dan demikian juga keadilan. Mereka menamai pendirian ini dengan nama adil. Mereka berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan terkecuali sesuatu yang baik, Allah berkewajiban memelihara kepentingan hambanya.”. Mereka berdalil dengan Sejumlah nash al-Qur’an:
a)      Dalam surat al Mudatsir ayat 38: yang artinya: “Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya”.
b)      Dalam surat al-Kahfi ayat 39: yang artinya: “Maka siapa yang menghendaki beriman berimanlah, dan siap yang menghendaki kafir kafirlah!”.
c)      Dalam surat ad-Dahr ayat 3: “Sesungguhnya kami telah menunjukkan kepadanya jalan (yang lurus), adakalanya dia bersyukur dan adakalanya mengingkari”.
d)     Dalam surat al-Muzammil ayat 19: “Sesungguhnya ini adalah peringatan; maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada tuhannya.”
e)      Dalam surat Fusilat 46 : “Barang siapa berbuat baik, maka itu adalah buat dirinya, dan siapa berbuat jahat, maka itu merugikan dirinya. dan tiadalah tuhanmu aniaya terhadap hamba-hamba-NYA.”
f)       Dalam surat an-Najmu ayat 39-41: “Dan bahwasanya tiadalah bagi manusia, kecuali apa yang telah dikerjakannya. Dan bahwasannya usahanya itu akan diperlihatkan. Kemudian dia akan diberi balasan yang paling sempurna”.
Demikianlah beberapa pemikiran mu’tazilah. Sebenarnya masih banyak hal tentang pemikiran mu’tazilah yang dapat dipahami, namun pembahasan tentang hal tersebut cukup luas dan panjang dan memerlukan kajian khusus secara lebih mendetail, sehingga dalam makalah ini hanya dipaparkan secara singkat saja.  

PENUTUP
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yang mendasar yaitu:
1.      Bahwa pengertian teologi dalam Islam tidak lain adalah terkait dengan ilmu kalam yang mengandung sejumlah pembahasan seputar ketuhanan seperti sifat-sifat, af’al, Iradah, takdir, dll.
2.      Tujuan mutakalimin mempelajari filsafat tidak lain karena tuntutan keadaan yang mengharuskan mereka mempelajarinya. Sebab musuh-musuh Islam menggunakan strategi filsafat untuk melawan Islam. sehingga mutakalimin mau tidak mau juga harus menguasahi ilmu filsafat untuk membentengi Islam dari serangan pihak luar Islam.
3.      Ayat-ayat mutasyabihat menjadi polemik di kalangan ulama  sebab umat Islam terjebur ke dalam perbincangan seputar ayat-ayat yang memang secara dhahir tidak mudah diterima oleh akal. Penyebabnya adalah karena selain permasalahan di tubuh umat Islam sendiri (internal) di tandai sejak masa terbunuhnya khalifah Utsman hingga munculnya mu’tazilah, juga ada faktor dari luar Islam (ekternal) yang sengaja membuat kekacauan umat Islam dengan memunculkan wacana-wacana seputar ketuhanan yang memicu perdebatan.
4.      Mu’tazilah telah tercatat dalam sejarah pemikiran Islam, sebagai golongan Islam yang cara berpikirnya  selalu mengedepankan akal rasional yang berlebihan dalam menyikapi masalah-masalah ketuhanan (teologi) sehingga persoalannya menjadi rumit dipahami oleh kalangan awam. Namun mu’tazilah tidak sepenuhnya salah, sebab mu’tazilah menganggap telah berusaha membentengi Islam dari serangan pemikiran luar (bid’ah) yang berusaha mengacaukan prinsip keimanan Umat. Upaya mu’tazilah dengan mempelajari filsafat untuk tujuan menguatkan prinsip Keimanan Islam patut diapresiasi, meskipun telah menimbulkan dampak negatif pula dalam diri pengikut mu’tazilah, dimana sebagian dari pengikutnya justru terjerembab dalam lingkaran filsafat yang rumit sehingga mereka tersesat dan tidak mudah untuk kembali ke dalam ajaran Islam yang murni.

DAFTAR PUSTAKA
Amad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, cet. XII, 2001.
M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al Milal Wa Al Nihal, Penerj. Asywadie Syukur, Surabaya: P.T Bina Ilmu, _____
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, cet. ke-15, penerj. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka litera AntarNusa, 2012.
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Penrj. Ahmadie Toha, Cet. ke-9. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, cet. ke-2. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.




[1] M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), cet. II, hlm. 17.
[2] Amad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), cet. XII hlm. V
[3]   Ibid.,
[4]  Ibid., hal. VI
[5]  Ibid.,
[6] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), cet. ke-2, hlm. 1-2.
[7]  Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Penrj.Ahmadie Toha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011),Cet. ke-9, hlm. 589.
[8]  [1168] Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
[9] Sahilun A. Nasir, Pemikiran......... ibid.
[10]  Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari  mutasyabihat. Secara bahasa mutasyabih berarti tasyabuh yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Menurut beberapa pendapat arti mutasyabihat antara lain: a) muhkan adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabihat hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri. b)  muhkam adalah ayat yang mengandung satu wajah,sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah. c) muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan penjelasan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian, ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain. Lihat: Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Karya: Manna’ Khalil al-Qattan.
[11] [767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.
[12] [768] Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
[13] [913] Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.
[14] Sahilun A. Nasir, Pemikiran............, Ibid., hlm. 13-20

[15] Ibid.

[16] ibid., hlm. 30-31
[17]  Ibid., hlm. 40
[18]  Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al Milal Wa Al Nihal, Penerj. Asywadie Syukur, (Surabaya: P.T Bina Ilmu, _____), hlm. 37.
[19] M Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi,.... ibid., hlm. 30-31.
[20]  Ibid., hlm. 166.               
[21]  Ibid., hlm. 166-167.
[22]  Ibid., hlm. 168
[23] Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al Milal Wa Al Nihal……Ibid, hlm. 38.
[24]  Ibid.
[25]  Ibid.
[26]  Ibid, hlm. 39

No comments:

Post a Comment