Tuesday, April 23, 2013

RASIONALISME: TOKOH DAN PEMIKIRANNYA

BAB I : PENDAHULUAN
Sudah maklum dalam kajian sejarah filsafat, bahwa setiap satu faham tertentu yang baru akan mematahkan dan mengkritisi faham yang telah ada dengan argumen-argumennya. Diantaranya ada faham yang secara prinsip mempunyai kesamaan, ada juga yang sama sekali berbeda dan berseberangan, tak jarang seringkali menghujad dalam mematahkan faham lawan.
Salah satu faham yang muncul pada abad pertengahan masehi di Eropa adalah faham Rasionalisme. Faham ini muncul dilatarbelakangi oleh pergulatan pemikiran pada masanya dalam merespon kondisi sosial masyarakat Eropa pada waktu itu. Rasionalisme tak bisa dilepaskan dengan era kegelapan di Eropa pada abad tersebut. Rasionalisme muncul akibat ketidakpuasan masyarakat para cendekiawan yang hanya tunduk dan menurut pada tradisi dogmatis Gereja dan tradisi keagamaan yang berkembang pada saat itu. Menurut mereka semua tradisi tersebut tidak rasional dan sangat naif.
Era Aufklarung menandai babak baru kehidupan modern di Eropa. Abad ke-17 dan 18 muncul era aufklarung (Jerman) atau Enlightenment (Inggris) yang dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan “Pencerahan” atau “Fajar Budi”.[1] Istilah ini mencerminkan kesadaran zaman itu, mereka menganggap telah mengatasi masa-masa dimana umat manusia mengalami era kegelapan tradisi dan dogma, serta tunduk dan percaya tanpa mengerti. Era Aufklarung ini mencerminkan kepercayaan akan kemajuan optimisme polos bahwa umat manusia semakin maju ke arah rasinonalitas dan kesempurnaan moral, dan bahwa kedua-duanya itu, yaitu rasionalitas dan kesempurnaan moral berhubungan erat satu sama lain.[2]
     



BAB II: PEMBAHASAN
A.    Konsep Rasionalisme
1.      Pengertian Rasionalisme
Secara bahasa rasionalisme bisa dipilah dari kata dasar rasional dan isme. Rasional dapat diartikan masuk akal; sesuai dengan nalar dll, sedangkan isme adalah faham. Jadi, rasionalisme adalah faham yang menyatakan bahwa akal memiliki kekuatan independen untuk dapat mengetahui dan mengungkap prinsi-prinsip pokok dari alam; atau tehadap sesuatu kebenaran yang menurut logika, berada sebelum pengalaman, tetapi tidak bersifat analitik[3].
Secara istilah Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa rasionalisme adalah faham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat penting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan[4]. Rasionalisme berbeda dengan Empirisme dimana empirisme mendapatkan pengetahuan melalui proses pengamatan secara indrawi, sedangkan rasionalisme mendapatkan pengetahuan melalui proses berpikir secara rasional. Para penganut rasionalisme menggunakan potensi akal untuk berpikir dengan tujuan mendapatkan pengetahuan baru dimana alat berpikir mereka adalah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.
Rasionalisme juga dapat diartikan sebuah faham yang menganggap bahwa akallah yang seharusnya menjadi sumber pengetahuan. Titik fokus sumber pengetahuan dalam aliran ini adalah kemampuan akal dalam melakukan penalaran. Penalaran adalah sebuah proses pelatihan intelektual untuk mengembangkan akal budi manusia. Bagi advokat, nalar adalah cara membela dan menyanggah kesaksian. Bagi ekonom, nalar adalah sarana membagi sumber daya untuk meningkatkan efisiensi, daya guna dan kemamuran. Bagi ilmuan, nalar adalah sebuah metode –yang ada dalam epistimologi rasional-dalam merancang percobaan untuk memeriksa hipotesis. Bersikap rasional berarti menggunakan kecerdasan untuk menentukan tindakan terbaik dalam mencapai sebuah tujuan[5]. Dengan rasionalisme dimaksud tuntutan agar semua claim dan wewenang dipertanggungjawabkan secara argumentatif, dengan argumen-argumen yang tidak mengandaikan kepercayaan dan pra-pengandaian tertentu, jadi yang dapat diuniversalisasikan.[6] Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio.[7]
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa rasionalisme mengedepankan akal sebagai landasan dalam memperoleh pengetahuan. aliran ini juga menegaskan bahwa untuk sampai kepada kebenaran, maka caranya adalah hanya dengan akal. Aliran ini memiliki konsep yaitu meragukan segala sesuatu hingga akal mampu menganalisis suatu hal yang mereka ragukan itu hingga akhirnya meyakininya. Tokoh yang terkenal dengan konsep ini adalah Rene Descartes dalam bahasa Perancis (1596-1650 M) atau Renatus Cartesius dalam bahasa Latin, dimana ia memulai pemikirannya dengan konsep meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Ia menolak silogisme dalam logika[8].
Rasionalisme dibagi menjadi dua macam: 1) dalam bidang agama, 2) dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan autoritas, biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme dimana rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika yang sangat berguna bagi teori pengetahuan[9].

2.      Ciri-ciri Rasionalisme antara lain adalah: (1) Kepercayaan pada kekuatan akal budi manusia. (2) Penolakan terhadap tradisi, dogma, dan otoritas. Dengan ini berpengaruh pada pelbagai bidang antara lain: bidang sosial politik, agama dan ilmu-ilmu pengetahuan. (3) Rasionalisme mengembangakan metode baru bagi ilmu pengetahuan yang jelas menunjukkan ciri-ciri kemodernan. (4) Sekularisasi yang menimbulkan minimal tiga hal: pertama, demitologisasi sejarah, kedua, alam, ketiga, perpisahan antara negara dan agama.
B.     Tokoh-Tokoh Rasionalisme dan Pemikirannya
1.      Rene Descartes (1596-1650 M)
Descartes adalah filsuf Perancis yang dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 M di wilayah Tourine, Perancis. Ia mempelajari bahasa-bahasa kuno, Sastra (Prosa Dan Syair), Geografi, Sejarah, Astronomi, Filsafat dan Teologi. Setelah mendapat gelar sarjana strata satu di bidang hukum, ia mengabdikan dirinya di dunia militer. Setelah itu, ia keluar dan mulai berkelana di Eropa selama sembilan tahun. Ia memikirkan bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan ilmu alam dengan cara matematis. Rene Descartes berhasil menemukan ilmu mekanika-analitik, dimana ia dapat mengungkapkan bentuk-bentuk mekanis dengan kode-kode ilmu aljabar.[10] Ia adalah filosof perancis, ahli matematika dan santis yang mendapatkan pendidikan di sekolah jesuit.[11] Ia menentang terhadap cara pendidikan yang pernah diterimanya dan mengemukakan akan penggunaan akal sebagai alat penyelidikan falsafi.[12]
Descartes memegang bendera reformasi dan inovasi kajian filsafat abad XVII M. Ia melandaskan filsafatnya atas asas spontanitas dan keyakinan positif dalam matematika. Ia memanfaatkan metode matematis yang kaidah-kaidahnya dibatasi sendiri olehnya. Ia ingin menerapkan hal itu di semua cabang ilmu pengetahuan, agar terbukti adanya kecermatan dan keyakinan ilmu-ilmu matematis pada ilmu-ilmu lain tersebut. Demikianlah descartes mendeklarasikan trend rasionalisme pada masa modern. Trend inilah yang dulu dibawa plato pada zaman klasik, sehingga karena itulah descartes pantas mendapat julukan “Bapak Filsafat Eropa Modern”.
Pemikiran-pemikiran Descartes antara lain:
a)      Keraguan Sebelum Keyakinan
Descartes menciptakan metode keraguan yang ia gunakan untuk menguji pengetahuan-pengetahuannya yang lampau, dimana ia bisa memilih yang benar dan menghindari yang salah. Karena itulah anda menemukannya meragukan pengetahuan kita terhadap segala hal. Ia mengatakan bahwa indra menipu kita dan kebenaran-kebenaran umum yang kita klaim sesungguhnya mempunyai efek (kesan) fantasi dan keraguan. Bahkan lebih jauh lagi, kita sering salah dalam pembuktian dan penetapan hukum. Sesuatu yang dapat dilintas oleh kesalahan, maka hilanglah keyakinan darinya. Siapa tahu ada spirit jahat yang selalu menipu kita, dimana ia menggambarkan sesuatu yang buruk sebagai yang baik dan yang baik sebagai yang buruk kepada kita?.
Dibalik metode keraguan yang diciptakan descartes, ada tujuan untuk sampai kepada keyakinan. Ia menamakannya dengan Keraguan Metodologis. Descartes menjadikannya sebagai sebuah metode atau cara untuk membebaskan akal dari segala kesalahan. Menurut descartes, otak kita sangat mirip dengan  sebuah ranjang yang dipenuhi buah-buah apel. Ada yang bagus ada yang busuk. Cara untuk membersihkannya adalah dengan mengeluarkan apel-apel itu dari ranjang tersebut dan memulai memilih yang bagus satu demi satu untuk  dimasukkan kembali ke dalam ranjang. Dengan demikian, kita dapat terbebas dari yang busuk dan menjaga yang bagus.


b)      Wujud jiwa
Sesungguhnya, keraguan terhadap segala sesuatu dalam pengetahuan kita dapat menyampaikan kita kepada sebuah kebenaran yang tidak diragukan. Maka, manakala aku meragukan bahwa aku sedang melakukan kerja berpikir dan kerja berpikir ini mesti ada supaya aku bisa berpikir. Begitulah descartes mengucapkan ungkapan terkenalnya cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Disini kita melihat bahwa descartes menetapkan wujud jiwa dan bukan badan, karena descartes berbicara tentang zat yang berpikir, bukan badan yang dapat diindera.
c)      Bukti adanya Tuhan (Allah)
Rene Descartes mencoba membuktikan eksistensi tuhan (Allah) dengan tiga bukti. Bukti pertama, disini Descartes meminjam metode keraguan, dengan urutan sebagai berikut:
a.       Keraguan adalah bukti bahwa manusia menyadari bahwa dirinya bersifat kurang dan terbatas.
b.      Akan tetapi manusia tidak akan menyadari kekurangan yang ada pada dirinya kecuali jika ia memiliki ide (konsep) tentang “kesempurnaan) dan ide (konsep) tentang “eksistensi yang betul-betul sempurna”.
c.       Tak mungkin konsep tentang “kesempurnaan” mampu diwujudkan oleh manusia dalam dirinya, karena dirinya adalah eksistensi yang bersifat kurang dan sesuatu yang kurang tidak bisa menjadi sumber dari sesuatu yang sempurna.
d.      Jadi ide (konsep) tentang kesempurnaan diletakkan dalam jiwa kita oleh suatu eksistensi yang sungguh sempurna, yaitu allah.
Bukti kedua, dinamakannya dengan bukti Ontologis-Eksistensialis. Descartes memaparkannya sebagai berikut: “ketika pikiran memilah-milah pelbagai konsep dan gambaran yang ada padanya, maka diantara berbagai konsep dan gambaran itu, ia akan menemukan konsep tentang “eksistensi yang maha tahu dan maha kuasa di atas segala sesuatu”. Sesuai dengan apa yang diperolehnya dari ide tersebut, maka dengan mudah pikirannya memutuskan bahwa allah adalah wujud yang sempurna itu.
Meskipun pikiran mempunyai konsep-konsep khusus yang berkaitan dengan banyak entitas lain, namun selamanya ia tidak akan melihat entitas yang meyakinkan tentang eksistensi obyek-obyek dalam konsep-konsep tersebut. Adapun pada konsep tentang eksistensi yang sempurna ini, pikiran bukan hanya melihat adanya kemungkinan eksistensi, seperti halnya konsep-konsep pikiran tentang sesuatu yang lain. Bahkan, ia melihat adanya eksistensi azali-abadi yang mesti ada.
Bukti ketiga, disini ia berpegang pada pembuktian yang lalu tentang adanya jiwa. Jika jiwa ada, maka bukanlah aku yang menciptakannya. Karena seandainya aku yang menciptakan jiwaku, aku pasti akan memberinya kesempurnaan yang aku inginkan. Dengan demikian, jiwa kita adalah akibat dari sebuah sebab lain, yaitu Allah. Seandainya aku mengembalikan wujudku kepada eksistensi selain Allahy, maka terpaksa aku akan membentuk rangkaian sebab-akibat hingga sampai kepada sebab pertama.
d)     Wujud Alam Luar
Dalam alam luar, kita menemukan banyak objek melalui indera, dimana descartes meragukan apa yang disaksikann oleh (indera). akan tetapi menurut descartes, akal kita memiliki kesiapan untuk menerima objek-objek itu. karena kita sudah menetapkan keabsahan pengetahuan kita dengan eksistensi Allah, maka allah-lah yang memberikan jaminan kepada kita akan kebenaran yang ada di hadapan akal, karena kebaikan allah akan amaencegahnya untuk memberikan kita akal yang menyesatkan. demikianlah descartes menegaskan kepada kita bahwa alam itu “ada” seperti yang kita lihat[13].
2.      Leibniz (1646-1716 M)
Gottfried Wilhelm Leibniz adalah filsuf Jerman lahir di kota Leipzig Jerman. Ayahnya adalah seorang pengacara dan guru besar bidang etika di salah satu universitas kota itu. Sejak kecil, leibniz mulai membaca buku-buku di perpustakaan ayahnya. Ia kemudian melanjutkan studi di universitas tempat ayahnya mengajar. Selanjutnya, ia mendalami filsafat dan matematika di bawah bimbingan guru-guru besar masa itu. Ia juga meneliti pemikiran filsafat yunani dan kristiani. Jesak itu, ia belajar filsafat kepada guru-guru besar filsafat modern sampai ia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang hukum. Kemudia ia pergi ke normberg, dimana ia bergabung dengan satu kelompok yang concer pada ilmu kimia. Ia juga mempelajari matematika di paris di bawah bimbingan para ahlinya. Leibniz pun mempelajari karangan-karangan pascal, filsafat descartes, dan spinoza. Ia menciptakan alat hitung yang ditiru dari pascal, serta melakukan improvisasi, karena disitu ia menambahkan: penambahan, pengurangan, pembagian serta sebagian akar bilangan[14].
Jumlah karya-karyanya tidak bisa ditentukan, tetapi selain makalah-makalah yang pernah ditulis, jumlah karya-karyanya mencapai lebih dari seratus. Karya-karya itu belum sempat dipublikasikan saat ia masih hidup, kecuali sebagian kecil saja. Sampai saat ini, karya-karya itu masih berbentuk manuskrip-manuskrip (tulisan tangan). Diantara buku-bukunya adalah: kajian tentang pengetahuan,hakikat dan makna, mazhab baru tentang alam dan hubungan substansi, usaha-usaha baru dalam pemahaman manusia, monadologi.
Pemikiran Leibniz:
a)      Mazhab Monadologi
Leibniz mengasumsikan adanya substansi-substansi yang tak terbatas jumlahnya yang dianggap sebagai unsur-unsur utama dalam susunan alam. Ia menyebutnya dengan monad, artinya bagian-bagian tak terpisahkan. Monad adalah atom-atom spiritual, bukan material dan tidak menempati ruang. Ia berbeda dengan atom yang dipelajari ilmu-ilmu alam yang dianggap leibniz tak lain sebagai atom-atom nyata.
Karakteristik terpenting monad atau atom spiritual adalah sebagai berikut:
1)      Monad adalah suatu eksistensi hidup atau atom hidup yang seluruhnya merupakan kekuatan aktif yang selalu cenderung bekerja dan bergerak.
2)      Ia tidak berbentuk, tidak berskala dan tidak terbagi.
3)      Ia tidak berbentuk dari apapun dan tidak musnah sendiri, tapi mesti ada yang menciptakannya.
4)      Dari monad, bentuk-bentuk material tergabung.[15]
C.    Sebab-sebab Munculnya Rasionalisme
Sebagaimana yang telah disingguh dalam pendahuluan diatas, bahwa munculnya faham rasionalisme ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan para pemikir pada abad pertengahan terhadap sikap masyarakat saat itu yang hanya mempercayai sebuah tradisi, dogma gereja tanpa mau memahaminya. Mereka tidak puas dengan apa yang selama itu mereka lakukan disebabkan campur tangan geraja yang sangat dominan terhadap gerak-langkah mereka. Namun menurut sejarah sebenarnya secara teknis, rasionalisme ini telah ada sejak masa yunani kuno dimana Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya (Sokrates, Plato, Aristoteles), dan juga beberapa tokoh sesudah itu (lihat Runer, 1971:275)[16].
Satu tokoh penting yang amat masyhur sebagai pencetus faham rasionalisme ini adalah Descartes, seorang filosof kelahiran Perancis. Ia telah lama merasa tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban. Amat lamban terutama bila dibandingkan dengan perkembangan filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama kristen. Ia juga ingin filsafat dikembalikan kepada semangat filsafat yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Ia juga ingin menghidupkan kembali rasionalisme yunani[17].
Descartes adalah tokoh awal yang membuat paradigma lain atau berbeda dengan paradigma keilmuan para filosof sebelumnya. Ia menyebut bahwa akal (rasionalitas) adalah sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang akan memenuhi syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti[18]. Gagasan Descartes Ini terlihat begitu kuatnya ia mengandalkan akal secara mutlak. Karena itu, wajar ketika ia sangat anti terhadap dogma gereja yang menurutnya tidak rasional penuh dengan mitos dan tidak dapat mendorong pada kemajuan filsafat pada saat itu.
D.    Analisis
Pada zaman filsafat modern, tokoh pertama rasionalisme adalah Rene Descartes. Tokoh rasionalisme lainnya adalah Baruch Spinoza dan Gottfried Wilhelm Leibniz. Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertrand Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat berdasarkan atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dia pula orang pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban.
Bagi penganut rasionalisme, pengetahuan diperoleh melalui kegiatan akal pikiran atau akal budi ketika akal menangkap pelbagai hal yang dihadapinya pada masa hidup seseorang. Selain itu, dalam hal ini tidak ada penyimpulan yang begitu saja terjadi mengenai kedudukan dari ontologis dari sesuatu yang diketahui.[19] Seorang penganut rasionalisme tidaklah memandang pengalaman sebagai hal yang tidak mengandung nilai. Bahkan sebaliknya, ia mungkin mencari pengalaman-pengalaman selanjutnya sebagai bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikan untuk memperoleh kebenaran. Dan ia mungkin mengadakan pembedaan antara pengetahuan dengan pendapat. Pengetahuan merupakan hasil kegiatan akal yang mengolah hasil tangkapan yang tidak jelas yang timbul dari indera kita, ingatan, atau angan-angan kita.[20]
Louis O. Kattsoff mencoba memberi gambaran real dengan statement berikut:
“ Jika saya mengatakan bahwa saya melihat sebuah pohon, maka saya tidak mempunyai pengetahuan, melainkan hanya pendapat, karena saya membuat pernyataan itu sebagai hasil penyimpulan yang diperoleh dari tangkapan penglihatan mata tertentu dan dari ingatan-ingatan tertentu yang sekarang saya punyai. Mata saya mungkin menipu saya atau ingatan saya hanya dapat mengatakan bahwa saya melihat pohon, dan sebagai akibatnya saya tidak dapat mengatakan bahwa saya mempunyai pengetahuan tentang pohon. Tetapi jika saya mengatakan bahwa 2+2 = 4, atau bagi setiap kejadian tentu ada alasannya mengapa hal itu terjadi, maka saya mempunyai pengetahuan mengenai hal-hal tersebut berdasarkan atas penalaran.”.[21]
Louis menegaskan bahwa pernyataan 1+2 = 4 bukanlah pendapat, sebab tidak mungkin untuk mengingkarinya, atau mustahil menerima kebenaran dari hasil penjumlahan yang tidak benar seperti 2+2 = 5. karena itulah, bagi kalangan rasionalisme, ukuran kebenaran adalah kemustahilan untuk mengingkari dan untuk dipahamkan yang sebaliknya.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
 Rasionalisme merupakan aliran falsafah yang berpandangan bahwa dasar dan sumber pengetahuan, atau secara umum falsafah adalah akal atau rasio. Akal yang bisa dijadikan dasar sekaligus sumber pengetahuan, sehingga berhasil memperoleh pengetahuan yang tetap dan pasti, serta absolut dan universal.
Sebagai sebuaha epistemologi, rasionalisme menggunakan aksioma-aksioma, pengertian-pengertian atau prinsip-prinsip umum rasional yang bersifat apriori, sebagai basis pengetahuan sekaligus sebagai sumber. Apa yang bersesuaian dengan prinsip-prinsip dimaksud ini, dan segala hal yang dapat didedukasikan dan prinsip-prinsip tersebut, itulah pengetahuan bagi kalangan rasionalisme. Sesuatu yang tidak didedukasikan dari prinsip-prinsip apriori atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut, itu bukanlah pengetahuan, ia hanyalah sekedar opini.[22]
Rasionalisme keberpihakanya hanya terhadap akal atau rasio, rasionalisme pada akhirnya memang  banyak menuai kritik. Tak lama sepeninggal Rene deskrates sang bapak kontinental rasionalisme, David Huge misanya, telah mengkritik bahwa akal hanyalah sekedar budak daripada nafsu, yang tidak bisa tidak mengapdi kepada nafsu, pastinya selalu mengapdi.
            Namun demikian, problem dan kritik rasionalisme tersebut, tentunya bukan berarti bahwa rasionalisme tidak mempunyai arti atau manfaat sama sekali. Sebaliknya, sebagai sebuah aliran falsafah.[23] Melalui bapak kontinentalnya, rasionalisme telah menjadi pintu utama bagi kelahiran falsafah bapak modern, yang pada giliranya telah berhasil melahirkan berbagai aliran-aliran falsafah lainya, termaksud aliran yang menentangnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Cetakan Ketujubelas, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.
Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu dari Empirik-Rasional Ateistik ke Empirik-Rasional Teistik, Cetakan Pertama, Bandung: Benang Merah Press. 2005.
Franz Magniz- Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Cetakan Keempat, Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS. 1995
Fuad Ismali dan Abdul Hamid Mutawali, 2012. Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan Islam), Yogyakarta: IRCiSoD, 2012
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: ( dari Machiavelli sampai Nietzsche), Jakarta:Gramedia, 2004.
Harold H. Titus Dkk, Living Issues In Philosophy, diterjemah oleh: M. Rasjidi, Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984.
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Prenada Media, 2003.

Louis O. Kattsoff, Element Of Philosophy, diterjemah oleh: Soejono Soemargono, cet. ke-7, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1987.
Tim Gama Press, Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap, Cetakan Pertama, __________: GAMA PRESS. 2010.




[1] Franz Magniz-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS,1995), cet. ke-4, hlm. 65
[2] ibid, hlm. 66
[3]  Tim Gama Press, Kamus Ilmiah Populer Edisi Pengkap, (_________: Gama Press, 2010). hlm. 532.
[4]  Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), cet ke-17, hlm. 127.
[5]  Cecep Sumarna, Rekonstrukti Ilmu dari Empirik-Rasional Atesi ke Empirik-Rasional Teistik, (Bandung: Benang Merah Press, 2005),  ibid, hlm.76-77.
[6] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS, 1992), hlm. 65.
[7]  Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 91.
[8] Cecep,  ibid.
[9] Ahmad Tafsir,  Ibid, hlm.127
[10] Fuad Ismali dan Abdul Hamid Mutawali, Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan Islam), (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), Hlm. 71-78.
[11] Harold H. Titus Dkk, Living Issues In Philosophy, diterjemah oleh: M. Rasjidi, (Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984), Cet. Ke-1, Hlm. 77.
[12] Ibid.,
[13] Fuad Ismali dan Abdul Hamid Mutawali,..........ibid., hlm. 71-78.
[14]  ibid.
[15] ibid., hlm. 80-83.
[16] Ahmad Tafsir, ibid., hlm. 128
[17]  Ibid., hlm. 128.
[18] Cecep Sumarna, ibid., hlm. 80
[19] Louis O. Kattsoff, Element Of Philosophy, diterjemah oleh: Soejono Soemargono,(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987), cet. ke-7. hlm. 140.
[20]  Ibid., hlm. 141.
[21]  Ibid.,
[22] Ahmad Tafsir, ibid.,  29.
[23]F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: ( dari Machiavelli sampai Nietzsche), Jakarta:Gramedia, 2004.

No comments:

Post a Comment